Seingatku, kawn-kawan yang berasal dari daerah Tasik Selatan sering mengatakan jika hendak pulang kampung mestilah mereka menunggu bis di terminal Padayungan. Okay...aku pun naik angkot 03 dan turun di depan terminal Padayungan. Aku lihat ada bis nangkring di pintu keluar terminal, dengan taruhan nyasar aku naik bis tersebut. Di dalam baru setengah penuh. Aku bertanya pada orag-orang di dekatku apakah bis ini lewat Cikeusal? Serempak mereka menjawab "henteu! lepat! sanes atuh neng!" (ind. "tidak! salah! bukan dong, neng!"). Aku melongo langsung lemas. Jadi bukan bis ini...lalu bis yang mana?
"Ikut saya aja dulu ke terminal baru, kebetulan saya mau ambil elf di terminal. nanti saya titip ke pengurus di sana supaya neng ditunjukkan mobil ke cikeusal!" Seketika saya menoleh. Seorang pria kira-kira pertengahan usia 30 dengan penampilan khas sopir atau kondektur bus. Baju lusuh, badannya menebarkan aroma menyengat khas orang jarang mandi, dan di bibirnya terselip rokok mengepulkan asap menyesakkan. Aku tertegun. Orang ini bisa dipercaya atau tidak? Dia orang asing, nada bicaranya tanpa tendensi, biasa saja, tapi menunjukkan kalau dia peduli. " Supaya gak ribet, neng sebaiknya naik elf jurusan Burujul Jaya, tujuan akhir Pasar Cikeusal. Nanti dari pasar langsung ke kantor desanya saja, minta informasi tentang orang yang sedang neng cari dan alamatnya sekalian. Elf ke Cikeusal adanya di terminal baru. Nanti saya antar." Katanya lagi. Kali ini terdengar lebih meyakinkan. Terus terang di kepalaku sedang perang batin. Antara harus waspada pada orang tak dikenal, atau ikuti saja dulu petunjuknya sambil berhati-hati dan jaga diri. Aku jadi ingat perkataan salah seorang kawan: "Pergi jauh ke tanah orang itu baru terasa kalau energi yang kita bawa positif, hasilnya pasti positif juga!" Maka bismillah...aku akhirnya memutuskan ikut dengan Bapak Sopir yang bahkan aku lupa menanyakan namanya. Di by pass kami turun lalu menanti kendaraan lewat yang menuju terminal baru. Berkat kebaikannya, aku sampai gak harus bayar sepeser pun! Dia mengatakan pada kondektur elf yang kami tumpangi, aku adiknya. Begitulah...akhirnya kami sampai di seberang terminal baru. Bapak Sopir mengantarku ke sebuah warung minuman di mana ada 2 orang laki-laki, yang satu petugas dishub, dan satu lagi nampak seperti preman yang berkuasa atas 'wilayah' tersebut. Aku dititipkan pada seseorang yang kusebut preman tadi. Lalu Bapak Sopir pamitan untuk mengambil elfnya di dalam terminal untuk menjalankan tugas. Sudah, begitu saja, tanpa basa-basi. "Elf ke Cikeusal 15 menit lagi berangkat. Kasih saja ongkos 10 atau 12 ribu. Biar nanti saya bilangin sopirnya kalau neng saudara saya biar gak ditarik mahal ongkosnya!" Kata Pak Preman lalu menghembuskan asap rokoknya ke udara. Waaaaa...bagaimana aku tidak merasa sangat beruntung? Sudah ditolong masih dapat diskon ongkos pula.
Sering melakukan perjalanan dan menikmati segala ketegangan juga kegembiraannya membuatku belajar untuk tidak menilai orang dari satu sisi saja. Saat ini aku melihat para calo di terminal atau stasiun itu biasa-biasa saja. Ingat saja bahwa begitulah cara mereka mencari nafkah untuk menghidupi anak-istrinya. Yang penting kita tegas menolak kalau memang keberatan dengan tawaran mereka. Sering...sering sekali aku mendapat kebaikan dari orang-orang yang tak kukenal di perjlananan. Ada lagi pengalamanku ditolong orang. Kali itu kejadiannya di Stasiun Kereta Tasikmalaya. Aku hendak memesan tiket kereta api Lodaya-Bisnis jurusan Jogja. Harga tiket hari Senin-Kamis Rp.90.000,-. Saat itu aku lupa, aku kan memesan tiket untuk keberangkatan Jum'at, jadi harganya berbeda memang untuk akhir pekan. Ketika di depan loket, tiket kadung dicetak dan aku hanya memegang uang Rp. 100.000,- di tangan. Otomatis aku panik kebingungan karena masih kurang 10 ribu. Akhirnya aku bilang titip KTP, tiket, dan sepeda sebagai jaminan. Aku pulang jalan kaki saja mengambil uang untuk membayar kekurangan 10 ribu itu. Tak disangka ada sepasang suami istri yang berbaik hati membayarkan kekurangan uang 10 ribu itu. Aku salting jadinya karena kami tidak saling kenal. Sang suami menyodorkan uang 10 ribu itu ke petugas loket "Ini pak, kurangnya saya yang bayar untuk adek ini." Katanya dengan logat Jawa yang kental. Sementara istrinya mengangguk penuh arti sambil tersenyum, "gak apa-apa, dek, itu mungkin rejekinya adek yang dititip di dompet suami saya". Coba, mau bilang apa selain ternganga? Rasanya pengen nangis dan memeluk kedua orang itu.
Kalau ini cerita tentang kebaikan di jalan yang terbaru. Senin (13/2) sekira jam 9.15 aku pulang berjalan kaki dari tempat mengajar. Jika cuaca teduh aku lebih memilih berjalan kaki menikmati suasana selain tentu menyehatkan baik tubuh maupun dompet :D Di Jalan Empang depan Hotel Selamet, ada tukang sate ayam pikul lewat. Aduuuuh wanginya. Perut langsung bunyi krucuk-krucuk karena dari rumah cuma sarapan serabi sebelum berangkat ngajar. Aku memanggil tukang sate lalu kami menepi mencari tempat teduh. Abang sate menaruh pikulannya di depan hotel, persis di samping warteg. Aku duduk menunggu pesananku dibuat di pot bunga raksasa. Seorang bapak yang kemudian kutau pegawai hotel sekaligus pemilik warteg menyuruhku duduk di bangku dalam warungnya saja. "Panas neng di luar mah!" Aku menurut karena sekitar 3-4 kali bapak tersebut menyuruhku duduk di warungnya saja. Selain berbaik hati mempersilahkanku menikmati sate yang notabene bukan dagangannya, ia pun menyodorkan segelas teh hangat (tukang sate tidak menyediakan air minum). Okey mungkin aku harus bayar air tehnya pikirku. Gak apa-apa. Tapi ketika aku selesai dan hendak membayar tehnya, si bapak menolak sambil mengibaskan tangannya. Gak usah katanya, cuma air teh. Padahal kutau di banyak warung, air teh maupun air minum tidaklah gratis. Jadi aku merasa segelas teh dan kebaikan si bapak adalah sesuatu yang istimewa pagi itu. Rasa hangat seketika mengalir di tubuhku. Perasaan sentimentil terharu dan percaya bahwa kebaikan itu melimpah! Bisa didapat di mana saja, termasuk di jalan!
Percayalah, ketika sering sekali bersyukur akan kebaikan-kebaikan kecil yang kita rasa sebagai anugerah luar biasa, maka dengan sendirinya kita akan tergerak untuk melakukan hal yang sama pada sesama. Dan kupikir, itulah salah satu makna dari melakukan perjalanan. Memperkaya sudut pandang, belajar menilai seseuatu atau seseorang namun tidak menghakimi, dan senantiasa berpikir positif.
Jadi, pernahkah kamu menerima kebaikan dari orang asing di perjalanan? Aku ingin dengar juga ceritanya :)
Fatimah: satu dari sekian banyak kebaikan yang kutemui di perjalanan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar