Arsip Blog

Minggu, 24 Juni 2012

Perjalanan Bukan Pelarian (Traveling Is Not Escaping)

(for me, now) traveling is not escaping, it's a reward!

Sebetulnya ini adalah sari dari obrolan bersama sipacar beberapa bulan lalu. Meski sudah lama berlalu, tapi aku masih bisa mengingatnya dengan jelas. Setelah traveling ke Bromo itu, dia terlihat khawatir sekali dan mau tidak mau harus memberitahukan kekhawatirannya padaku. Menurutnya, saat itu yang ada di pikiranku cuma traveling dan traveling. Sehingga seringkali hilang fokus dan tidak tuntas mengerjakan hal-hal lain yang lebih penting. Keinginanku untuk traveling dengan menggebu sudah masuk kategori impulsif. Aku bisa lho saat itu mengalokasikan uang yang sebetulnya untuk hal-hal yang lebih perlu demi traveling. Itu tidak sehat. Demikian sipacar mengingatkan. Awalnya tentu saja aku merespon dengan defensif dong ;) Tapi di dalam hati mengiyakan juga, apa yang dibilang sipacar itu benar adanya.

Lantas aku merenung, kembali bertanya-tanya, sebetulnya mengapa aku begitu menggebu-gebu bepergian jauh seorang diri. Jawabannya adalah kabur! Yap, escape, melarikan diri, apalah itu istilah lainnya. Bepergian sendiri memang nikmat, itu betul. Mencapai tempat-tempat yang membuat kita tertantang, itu memuaskan, memang benar adanya. Tapi setelah itu apa? Hampa. Kosong. Kembali ke rumah dan bertemu lagi dengan kenyataan.

Aku sangat menyukai traveling, ya itu betul. Aku ingin bepergian ke lebih banyak tempat, itu juga betul. Tapi jujur, aku tidak ingin menghabiskan seluruh hidupku melakukan perjalanan ke tempat-tempat baru. Trinity Traveler, she's cool...tapi aku gak mau berakhir dengan bepergian terus-menerus, tak ingin juga menjadikannya profesi. Aku punya rumah yang kusebut MAMAH dan BAPAK. Aku punya pekerjaan yang bagus, teman-teman yang hebat dan menyenangkan, dan aku masih ingin mengembangkan potensi-potensi lain yang aku punya.

Lagipula aku ingin traveling-ku lebih sehat dan menentramkan. Aku akan tetap melakukannya, hanya saja dengan lebih sehat: tidak meninggalkan hutang pekerjaan, tidak bokek bin bangkrut ketika kembali ke rumah, dan...harus senang ketika esok hari akan kembali menyongsong rutinitas-rutinitas yang selama ini berperan memolesku sehingga aku menjadi lebih baik. Lagipula segala hal-hal rutin itulah yang menjadi sumber dana travelingku hahahahhaha.

Jujur deh, rasanya menyedihkan sekali ketika bepergian hanya untuk 'melarikan diri'. Karena mau tidak mau aku harus kembali. Bepergian sebagai pelarian hanya menunjukkan bahwa selama ini aku kurang bersyukur dengan kehidupan yang aku punya. Maka dari itu, kesadaran baru muncul dalam diriku: Traveling sebagai hadiah bagi diri sendiri karena sudah mengerjakan apa-apa yang bisa kukerjakan dengan sangat baik. Dan...kupastikan mulai saat ini, begitu kembali dari traveling, tak akan ada laagi wajah meringis merogoh-rogoh setiap kompartemen di ransel dan dompet mencari uang yang barangkali masih tersisa hahahahaha...

Kamis, 05 April 2012

Perkebunan Teh Tambi: Terwujudnya Mimpi Berlari-lari

Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya tentang ceritaku menjelajah dataran tinggi Dieng. Sepeninggal kawan-kawan seperjalanan ke kota masing-masing, keesokan harinya aku dan sipacar melanjutkan perjalanan ke sebuah tempat yang sangat berarti bagiku. Tempat tersebut adalah simbol kedamaian, keheningan, kesejukan, sumber penghidupan, dan melegakan. Tempat ini telah lama kuimpikan untuk bisa kudatangi. Tapi karena satu dan lain hal, selalu saja tidak kesampaian. Dan aku bersyukur, ketika akhirnya mimpiku tercapai, aku bisa membagi sukacitanya bersama orang yang kusayangi. Dan ehem...sesungguhnya, mimpi ini bisa terwujud berkat kebaikan dan kegantengannya juga *eh?

Jadi ketika ngobrol dengannya, seriiing sekali aku menceritakan mimpiku untuk lari-lari di kebun teh. Iya, errr...agak aneh memang mimpiku, tapi buatku bisa berlari-lari kecil di antara deretan rumpun teh adalah sesuatu yang nampaknya melegakan. Sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah hijau....damai...sejuk...sunyi....Pokoknya bayangan tentang menyendiri dan berbuat apa pun yang kusuka seperti lari-lari, tea walking, menyentuh basah embun di ujung dedaunanya, dan diam melamun di tengah perkebunan teh selalu muncul kapan saja. Tentunya aku sering juga googling tentang perkebunan teh terdekat dari kotaku. Misalnya perkebunan teh di Taraju, Kabupaten Tasikmalaya, perkebunan teh Malabar dengan kisah Boscha yang gemar menyendiri di sebuah bukit menghadap hamparan perkebunan teh miliknya, dan perkebunan-perkebunan lainnya. Hingga ketika rencana backpacking ke Dieng itu bergulir, sipacar tiba-tiba bilang: "Nanti aku ajak kamu ke Tambi yah! Itu perkebunan teh dekat dataran tinggi Dieng." Waaaah perempuan mana yang tidak senang, mimpinya turut diwujudkan oleh seseorang yang begitu istimewa di hatinya :D

Nah...nah..nah...di tengah euforiaku yang membahana, rupa-rupanya sipacar baru ngeh kalau rem belakang motornya tidak berfungsi. Dia yang tahu betul salah satu hal yang kutakuti adalah naik motor, memutuskan untuk tidak memberitahuku. Dia tidak ingin merusak suasana hatiku yang sedang sangat gembira. Naik motor saja sudah takut, gimana kalau tahu rem motornya bermasalah? Pasti aku akan panik luar biasa. Ini cerita tentang rem yang rusak aja aku baru dikabari setelah aku sampai rumah! Hihihihi...Tapi meski kami turun dari Dieng dengan rem belakang yang tidak berfungsi, sipacar menjalankan motornya dengan lancar dan aman terkendali. Aku yang duduk dibelakang sih hepi-hepi (ada yang bilang ke-tidaktahu-an itu seringkali memberi rasa aman). Hahahaha...mungkin ini benar adanya.

Perkebunan teh Tambi terletak kurang lebih 16 kilometer utara kota Wonosobo. Jalan menuju perkebunan teh ini adalah jalan utama yang sama menuju ke Dieng. Hanya saja, sebelum sampai ke Dieng, ada belokan ke kanan dan penanda berupa gapura bertuliskan Agrowisata Tambi. Sementara aku dan sipacar datang dari arah Dieng, jadi kami belok kiri. Agrowisata Tambi ini dikelola dengan cukup baik, ada penginapan berupa homestay yang dikelola pihak perkebunan jika ingin menginap. Bagusnya pesan jauh-jauh hari ya, karena sering full booked, terutama di akhir pekan.

Kami menitipkan motor di depan pos keamanan. Jika ingin tur keliling perkebunan dan belajar tentang teh beserta sejarah dan pengolahannya, kita harus ambil paket yang ditawarkan pihak perkebunan seharga Rp. 250.000,- Tapi karena saat itu aku juga tak berniat berlama-lama karena harus segera pulang ke Tasik, akhirnya kami hanya memutuskan berjalan-jalan saja di tengah perkebunan. Kalau cuma jalan-jalan mah gratis kok. Tapi aku dan sipacar berjanji akan kembali lagi kesana suatu hari, karena kami sama-sama penyuka teh dan ingin belajar lebih lanjut mengenai teh :)

Dan...inilah saat-saat sakral tersebut. Aku masuk melalui celah diantara rerimbunan tanaman teh. Embun membasahi jaketku. Pegunungan seolah tersenyum ponggah menyaksikan kebodohan seorang perempuan berusia 27 tahun yang gugup dan tegang karena akhirnya bisa menginjakkan kaki di tempat yang selama ini diidam-idamkannya. Sipacar juga tidak banyak mengajakku bicara, toh aku juga ketika itu rasanya seperti lupa akibat tersihir kehijauan, kedamaian, dan kesunyiannya. Aku merasa sentimentil, lantas tertegun. "Ayo lari!" Teriak suara dari dalam hatiku. Tapi aku tak kunjung berlari. Aku malu...meski sipacar pastinya akan paham jika aku berlari-lari seperti anak kecilpun, tapi aku tetap saja merasa malu. Sipacar seperti mengerti kegugupanku, lalu dia bilang akan pergi mencari toilet dan 'melepasku' sendiri di sini...di tengah perkebunan teh impianku ini. "Aku tunggu di pos tadi yah...sms-an yah...Kamu beneran gak apa-apa jalan-jalan sendiri?" Aku menganggukkan kepalaku kuat-kuat. Iya! Aku akan baik-baik saja.

Setelah dia hilang dari pandangan, segera aku mengambil ancang-ancang dan berlari di jalan kecil yang membelah perkebunan teh tersebut. Awalnya kencang, namun seiring nafas yang tersengal-sengal, aku pun berlari kecil, lalu berjalan pelan. Aku tanpa ragu memasuki celah-celah disela rerimbunan dan terserah nasib akan membawaku kemana. Saking asyiknya berjalan-jalan sesuka hati, aku kebingungan mencari jalan menuju pos keamanan tempat sipacar menunggu. Dia menawarkan diiri untuk menjemput. Tentu saja aku menolak dan bertekad memutuskan mencari jalan sendiri. Ternyata aku berjalan melenceng dan sudah sangat jauh dari tempat semula. Sehingga ketika akhirnya menemukan jalan raya, aku berada di bawah pos keamanan tempat kami menitipkan motor. Terpaksa menguatkan diri untuk mendaki karena kondisi jalannya menanjak. Ketika sampai di pos keamanan, aku langsung mengoceh ini-itu pada sipacar. Dan dia menyahut santai : 'pasti baliknya ngojek yah?" sambil tersenyum jahil. Dan bukkk...langsung kutonjok lengannya keras-keras.





Hari sudah semakin siang, kami memutuskan untuk turun ke Wonosobo, menikmati satu sesi lagi acara backpacking kami yaitu wisata kuliner khas Wonosobo! Makanan khas Wonosobo adalah mie ongklok, yaitu mie berwarna kuning yang dimasak dengan cara diongklok-ongklok dengan serokan yang terbuat dari anyaman bambu. Mie ini dihidangkan dengan kuah kental mirip-mirip maizena, lalu diberi bumbu kacang. Rasanya cenderung manis. Mie ongklok disajikan dengan pasangan sejatinya yakni sate sapi. Entah mengapa, menurut orang wonosobo, makan mie ongklok wajib dinikmati bersama sate sapi. Dan...sebagai penetral rasa manis, masih ada tempe kemul gurih juga teh hangat yang diproduksi dari perkebunan teh Tambi. Mantap!


Duh, sampai rasanya beraaat sekali ketika waktu pulang tiba. Seketika aku jatuh cinta dengan kota kecil yang diliputi kesejukan dan kedamaian ini: Wonosobo. Kelak aku akan datang lagi, karena kami masih punya janji untuk bersama-sama menyesap sedapnya teh Tambi dan belajar lebih lanjut mengenai teh langsung di perkebunanya.

Terimakasih untuk segala kesabaran dan pengertiannya, and to tell you the truth...ini adalah salah satu perjalanan terbaik yang pernah kualami :-*





Selasa, 03 April 2012

Dataran Tinggi Dieng: Rem Blong Ugal-ugalan!

Beberapa saat setelah aku sampai rumah, sipacar sms: "Sebetulnya ketika kita turun dari Dieng kemarin itu, rem belakang motorku gak berfungsi. Tapi aku gak mau kasih tau kamu, karena kamu pasti panik :D" APAAAA????! Huh rasanya ingin menjambak-jambak rambut gondrongnya. Tapi setelah dipikir-pikir, ini pasti karena aku yang takut setengah mati naik motor akibat trauma paska dua kali tabrakan yang pernah kualami sebelumnya. Daripada aku jadi ketakutan, panik, dan jerit-jerit gak jelas, maka sipacar memilih bungkam. Hebatnya cara doi menjalankan motor betul-betul enak dan berhati-hati. Menjagaku supaya gak ketakutan. Ciyeeee....

Memang trip kali ini berbeda dari tripku sebelumnya. Biasanya mengandalkan angkutan umum, kali ini memilih bawa motor sendiri. Selain itu yang lebih menyenangkan, trip kali ini beramai-ramai. Agis dan Fatimah, kawan-kawan baru yang kukenal sewaktu ke Bromo bulan lalu juga ikut serta. Agis berangkat dari Jogja bawa motor sendiri, sementara Fatima berangkat dari Jakarta menggunakan bus. Fatimah mengajak temannya yang bernama Sari. Untuk teman-teman yang tinggal di Tasikmalaya, sangat mudah mencapai Wonosobo. Dataran tinggi Dieng yang terletak lebih dari 2000 meter di atas permukaan laut ini masuk ke Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara. Akses menuju kesana yang paling mudah adalah melalui Wonosobo. Dari Tasikmalaya bisa menggunakan bis Budiman (pagi: 9.30-10.00 & malam: 21.30-22.00). Tarifnya Rp. 45.000,- tidak termasuk makan. Enaknya naik bis Budiman, gak usah ganti-ganti bis lagi karena langsung menuju ke Wonosobo tanpa mengangkut penumpang di jalan. Alternatif lain bisa juga ngeteng. Dari Tasik naik bis jurusan Purwokerto, nanti di terminal Purwokerto ganti bis, naik jurusan Wonosobo. Lama tempuhnya hampir sama, normalnya 7 jam jika tak ada macet. 

Hari Ke - 1 (22/3): Tasik-Wonosobo
Aku berangkat Kamis malam menggunakan bis Budiman. Dari Tasik bis berangkat jam 21.30 WIB dan sampai di Terminal Mendolo Wonosobo jam 4.30 (Jum'at subuh). Awalnya janjian sama Fatimah dan Sari untuk berangkat bareng dari Mendolo ke Dieng. Tapi karena bis mereka terjebak macet parah, jadi ketika aku sampai Wonosobo, mereka baru sampai Tasik. Wiiiih selisihnya jauh sekali. Tadinya janjian di Mendolo karena perkiraan kami, bis malam dari Jakarta akan sampai subuh hari di Wonosobo. Tapi ternyata kalau lewat jalur selatan itu segalanya bisa berubah. Tergantung jalur Nagreg-nya lagi macet atau tidak hehehe.

Hari Ke- 2 (23/3): Segalanya Berawal dari Bu Jono
Fatimah dan Sari masih olahraga pantat di jok bis Damri yang terjebak Macet di Malangbong, Agis baru berangkat dari Jogja. Jadi aku yang ketika itu dijemput sipacar di Terminal Mendolo memutuskan berangkat ke atas duluan. Hari masih gelap. Dinginnya setengah dewa! Padahal masih di Wonosobo. Gimana di Dieng sana??? Ketika jalanan terasa mulai menanjak. terang belum menyapa. Aku dan sipacar rasanya bagai membeku. Brrrrr....dan semakin ke atas, terang perlahan turun. Barulah setelah segalanya mulai jelas, akupun ber- WOOOOW....WIIIIH dengan serunya. Bagaimana tidak, di kiri-kanan jalan yang terlihat hanyalah hijaunya ladang sayur-mayur, megahnya pegunungan, genitnya kabut yang menggantung, dan gumpalan awan bergayut di punggung gunung. Tuhaaaan...rasanya bisa loncat ke awan-awan yang sejajar dengan jalan aspal yang kami lalui!

Sipacar cuma ketawa-ketawa mendengar aku tak henti-hentinya berseru mengagumi keindahan alam yang begitu jarang aku temui di kotaku. Iri juga, dia bisa tinggal di tempat setengah surga kayak gini. Sementara aku setiap hari cuma bisa menikmati lalu-lalang angkot, keringat bercucuran, dan gersang di hampir setiap sudut kota.

Setelah terus menanjak tiada henti, akhirnya sampai juga di jalanan yang datar berupa pertigaan. Sebelah kiri ada pangkalan ojek wisata Dieng, dan kananya adalah penginapan dan restoran 'Bu Jono' yang sudah kami pesan semenjak 2 minggu lalu. Kondisi tempatnya jauh meleset dari iklan di internet ;'( Tapi masih bisa disebut layak untuk sekedar menitipkan barang dan bermalam 2 hari. Awalnya aku berencana memesan kamar di Pondok Wisata Lestari, tapi ternyata sudah penuh. Pondok Lestari menurut kawan-kawanku yang pernah ke Dieng dan menginap di sana katanya bersih dan nyaman. Tapi ya sudahlah, kan tak mungkin juga kubatalkan kamar yang sudah susah-payah kupesan via telpon itu. Rate kamar standar di penginapan 'Bu Jono' adalah Rp. 70.000,- (kamar mandi luar dan disediakan shower air panas)

Dieng bisa juga dicapai dengan kendaraan umum. Dari Terminal Mendolo, kalian bisa naik mikro jurusan Dieng. Tanya saja petugas-petugas yang ada di sana, semua paham kok dan dengan senang hati membantu. Sementara transportasi ke tempat-tempat wisata di Dieng, ada ojek yang bisa dicarter. Soal tarif tergantung pendekatan. Hehehehe...maka pintar-pintarlah menawar dan merayu ;)

Tak berapa lama, Agis sampai juga di Dieng. Hebat bener, kuat bawa motor 4 jam dari Jogja lewat Magelang dan Temanggung. Lalu akhirnya...yang ditunggu-tunggu sekian lama tibalah: Neng Fatimah dan Jeng Sari dari Jakarta! Maka lengkap sudah peserta Dieng Trip kali itu. Tak menyiakan waktu, kami segera meluncur ke wilayah Dieng I, yaitu Telaga Warna, Goa Semar, Candi Arjuna, dan Kawah Sikidang. Kami harus berlomba dengan kabut, karena jika terlalu sore, semuanya menjadi gelap tersaput kabut. Harga tiket per lokasi wisata rata-rata Rp. 10.000,-.

Ini dia Kompleks Candi Arjuna! Ini adalah Candi Hindu yang nuansa mistisnya terasa kental. Uniknya, kompleks Candi Arjuna ini masuk ke wilayah Kabupaten Banjarnegara.






















Puas mengelilingi kompleks candi, kami meneruskan perjalanan ke Kawah Sikidang. Dieng Plateau ini unik sekali. Aslinya adalah pegunungan berapi tapi datar, maka banyak kawah-kawah tersebar. Kawah Sikidang ini kaya akan belerang, maka tak heran ketika kita sampai di sana, bau belerang langsung menyengat hidung. Jangan khawatir, jika tidak tahan bisa membeli masker yang banyak dijual di parkiran. Ketika Merapi aktif, kawah-kawah di Dieng juga biasanya meningkat aktivitasnya, dan mengeluarkan gas beracun. Jadi kadang jika berbahaya, kawah-kawah ini ditutup demi keselamatan pengunjung. Jika kita berjalan teruuuus, kita akan menemukan sebuah kolam sulfur raksasa yang mendidih dan terlihat agak...mengerikan hehehe.














Di area parkir Kawah Sikidang terdapat pasar tradisional. Menjual berbagai macam hasil pertanian khas Dieng seperti kentang, kuban (kubis), cabai, dan carica. Harga manisan carica di sini murah sekali, satu kardus isi 6 botol hanya 40 ribu saja, sementara di tempat lain mencapai 50-60 ribu rupiah. Habis jalan-jalan lapar melanda. Cocok sekali jika di udara dingin makan yang panas-panas. Kentang goreng atau rebus paling pas! Hampir semua kios menyediakan kudapan ini.

Nah...nah...kawasan wisata Dieng I hampir selesai kami jelajahi, dan penutup yang manis tentu saja menikmati keindahan Telaga Warna. Konon pemandangan yang kita saksikan akan lebih spektakuler jika menyaksikan keindahan Telaga Warna dari ketinggian. Kalau kuat, boleh mendaki bukit di sekelilingnya untuk menyaksikan warna-warni air telaga. Di kawasan ini juga terdapat goa semar dan patung patih Gajah Mada. Banyak orang melakukan semedi dengan berbagai macam tujuan.


 





Puas main-main di Telaga Warna, lari-lari, lompat-lompat, foto-foto, manjat pohon, ditambah udara yang semakin dingin, membuat kami jadi kelaparan. Semua sepakat ingin mencicipi makanan khas wonosobo yaitu Mie Ongklok. Tapi sial deh, mie ongklok di kompleks wisata dieng ini rasanya gak karu-karuan. Jauuuh sekali dari bayanganku berdasarkan informasi yang kubaca di internet, yang katanya enak dan mantap. Kata sipacar yang asli Wonosobo, seharusnya mie ongklok rasanya gak aneh begini., dia janji akan mengajakku makan mie ongklok beneran setelah turun ke Wonosobo. Yippppie!

Meski tidak terlalu bagus, ada untungnya juga menginap di Penginapan Bu Djono. Karena penginapan ini merangkap restoran juga. Apalagi pas malam hari, udara dinginnya setengah mati, sampai malas banget keluar penginapan untuk cari makan, jadinya pesan makan malam di situ saja sekalian. Dari segi harga juga masih terjangkau kok. Dingin-dingin tentu saja paling pas makan indomie rebus! Nyammmmm!


Yummmm...yummmmm...yummmm....tenaga pulih dan bersiap untuk bangun subuh untuk menyaksikan matahari terbit di Bukit Sikunir!!!

Hari Ke-3 (24/3): Sunrise Bukit Sikunir & Air Terjun Sirawe 

Tips buat kamu ya, supaya tidak ribet di tempat baru, gak ada salahnya menggunakan jasa pemandu yang merupakan penduduk setetempat. Selain kita dijamin tidak tersasar, kita juga ikut berkontribusi meningkatkan perekonomian orang-orang lokal di situ. Waktu itu sih kami agak jumawa memutuskan tidak menyewa guide karena ingin menghemat uang dan ingin merasakan serunya berpetualang mencari jalan sendiri menuju Bukit Sikunir. Bukit Sikunir adalah view point tempat menyaksikan matahari terbit. Dari puncaknya kita bisa menyaksikan keagungan gunung Sindhoro yang nampak setengah tenggelam ditengah lautan awan tebal.

Tentu saja kami sempat tersasar karena salah belok. Rupanya banyak pula wisatawan yang enggan menyewa guide sehingga mengalami nasib yang sama dengan kami. Akhirnya setelah Agis berinisiatif mencari informasi, kami bisa sampai juga di kaki bukit Sikunir. Indahnya bukan main! Di kaki bukit kita disambut birunya Telaga Cebong. Tenang saja, kita tidak sendiri. Banyak bus dan mobil pribadi terparkir disitu beserta ojek-ojek sewaan. Beberapa penjual makanan dan minuman juga bersemangat menawari para turis yang bersiap mendaki bukit Sikunir.

Setelah kepayahan mendaki gunung Penanjakan dan Kawah Bromo sebulan yang lalu, aku jadi bisa lebih santai mendaki Bukit Sikunir ini. Yang penting melangkah pelan-pelan, atur nafas, jangan bicara selama mendaki, dan nikmati apa yang ada di sekitar! Btw, jangan lupa bawa air minum yah. Supaya lutut tidak sakit, berjalanlah dengan langkah-langkah kecil saja. Aku benar-benar merasa bahwa...wah ini sih tidak jauh berbeda dengan menjalani hidup. Ciyeeee. Kita sendiri yang harus bisa mengukur medan, mengukur kemampuan diri, berstrategi, tahu kapan harus melangkah dan berhenti, serta...jangan sungkan minta tolong jika diperlukan. Huaaah...sungguh bersyukur perjalanan kali ini aku ditemani sipacar. Jadi punya penyemangat dan seseorang untuk diandalkan ketika mendaki bagian-bagian curam. *berbunga-bunga norak*

Dan akhirnya, sampailah di puncak bukit yang telah nampak seperti pasar karena banyak orang berdesakan ingin menyaksikan matahari yang (telah) terbit. Iyaaaa, kami sampai puncak ketika matahari sudah terbit. Jadi sunrise moment-nya gak dapat. Kecewa? Oh tidak, karena setelah tanya-tanya mereka yang tiba lebih dulu, mataharinya tertutup awan akibat semalam turun hujan. Tapi memang pemandangannya spektakuler sekali. Lautan awan berada sejajar dengan dada kami. Di kejauhan Sindhoro berdiri dengan gagah, dan sinar matahari membingkai awan-awan sehingga nampak keemasan (sok puitis pisan). Yah pokoknya indah!





Lucunya ketika kita pikir berada di sebuah tempat asing dan tidak mungkin ada yang kita kenal, kadang kita salah. Buktinya sipacar tanpa sengaja bertemu dengan salah seorang kawan SMA yang semenjak lulus tidak pernah saling bertemu lagi! Hihihihi....setelah bertahun-tahun malah bertemu di tempat yang tak diduga.

ciyeee...nostalgia SMA ciyeee

Selain lautan ombaknya, kehijauan bukitnya pun mempesonaku. Aaaaah Dieng berhasil membuatku jatuh hati pada pegunungan. Awalnya favoritku adalah pantai dan wisata kota. Berkat kehijauan Dieng, kini aku bisa menikmati pegunungan pula :)







Matahari bergerak meninggi membuat mata kami silau dan tubuh kami kepaanasan. Sudah waktunya turun! Berbeda dengan ketika naik, turun lebih mudah dan cepat hehehe...Kamu harus hati-hati, karena jalan setapak yang dilalui sangat sempit. Kiri atau kananmu adalah jurang. Tidak ada pagar pengaman sama sekali. Dan...ini bagian yang bikin jleb lagi. Pemandangan indah di kaki bukit sikunir menyihir kami lagi. Dieng ini keindahannya tak habis-habis. Danau Cebong nampak magis dan sunyi meski di dekatnya adalah lahan parkir dengan jejeran aneka kendaraan. Rupa-rupanya ada beberapa kelompok anak muda yang nekat camping di pinggir danau. Duh, kayak apa dinginnya ya kalau malam? Aku saja tidak bisa tidur meski di penginapan, saking dinginnya.




Tak menyiakan waktu, setelah dirasa cukup ber 'wuuuh-wooooh-waaaah' ria di area Bukit Sikunir, kami kembali ke penginapan untuk bersiap menuju air terjun Sirawe. Informasi dari pemandu kami, medannya sangat ekstrim berupa hutan dan jalan menuju kesana pun rusak. Kami yang perempuan-perempuan ini memang gak punya bayangan sama sekali. Medan yang ekstrim itu seperti apa...yang jelas megahnya air terjun dan sejuknya air pegunungan yang nanti akan membasuh kelelahan kami sudah terbayang. Maka kami pede saja cuma pakai sendal jepit. Toh mau basah-basahan ini, begitu pikir kami.

Air terjun Sirawe terletak di Desa Kepakisan. Dari area wisata Dieng memakan waktu 1 jam perjalanan dengan motor. Jalurnya searah dengan jalan masuk ke kawah Sileri tapi masih masuuuuk terus. Sampai di jalan yang rusak parah, aku, Fatimah, dan Sari harus rela turun dari motor dan berjalan kaki. Daripada kenapa-kenapa. Dari sana jalan terus saja menurun, ngeri sekali pokoknya. Tapi seru! Sesampai di tanah yang agak datar, guide kami dari Dieng pergi mencari guide lokal orang-orang asli Desa Kepakisan. Aku gak nyangka, ternyata guide lokalnya adalah anak-anak kecil berusia 9-10 tahuanan! Guide kami dari Dieng tidak ikut ke air terjun, dia tinggal untuk menjaga motor dan barang-barang kami.

Ini dia! Perjalanan serunya baru saja dimulai. Awalnya medan yang kami tempuh hanya berupa pematang di perkebunan kentang dan kubis, lalu melewati perkebunan carica (sempat nyolong beberapa tentunya), meniti jembatan kecil, lalu terus masuk ke hutan. Kontur tanah di hutan ini rawan longsor, selain itu naik-turun. Sudah tak terhitung berapa kali kami jatuh, terpeleset, dan tergores duri maupun daun-daun bergerigi tajam. 


Satu-satunya yang berpengalaman jalan di hutan adalah Agis. Sisanya pemula hahahha...Untuk menghindari tergelincir ke jurang, kami berlima jalan saling berpegangan tangan, kadang pegangan pada batang, semak-semak, dan pohon-pohon.Yang menyebalkan, anak-anak kecil pemandu kami itu seperti tidak peduli pada kami. Mereka jalan cepat sekali dan sering menghilang dari pandangan. Ketika kami teriak memanggil mereka, suara sahutan mereka terdengar jauh sekali. Aku mencak-mencak sebal. Pemandu macam apa itu??? Agis mendinginkan amarahku, mengingatkan kalau mereka hanyalah anak kecil.

Suara air terdengar semakin dekat, kami pun makin bersemangat agar segera sampai. Tapi ternyata, di lereng terakhir, kami cuma bisa tertegun. Lerengnya terlalu curam untuk kami turun. Selain itu tanahnya rawan gugur jika diinjak. Setelah berdebat, kami memutuskan tidak turun. Demi keselamatan bersama. Akhirnya kamu cuma bisa mengabadikan air terjun itu dari lereng curam tempat kami duduk alakadarnya. Beneran alakadarnya, karena sangat sempit, dan di depan kami sudah langsung jurang. Hiiii....


ciyeee jeng sari, padahal takut jatoh tuuuh



Ternyata air terjunnya tidak sebesar dan setinggi yang kami kira, padahal perjuangan un tuk mencapainya ruarrrr biasa. Yah, hidup juga demikian. Seringkali yang seru adalah prosesnya bukan? Dan yang horor adalah perjalanan kembali ke perkampungan. Dari tebing tempat kami nongkrong gak sampai 10 menit menyaksikan Sirawe, kami kesulitan balik badan. Karena pijakannya sempit dan tanahnya sering gugur. Rasanya kayak mau mati. Tangan menggapai apa saja yang sekira bisa dijadikan pegangan.



Perjalanan kembali ke penginapan pun tidak mulus. Fatimah dan Agis mengalami kecelakaan, jatuh dari motor. Bibir bagian dalam Fatimah sobek dan kakinya lecet. Lukanya tidak parah setelah diobati di puskesmas. Sore harinya, Fatimah dan Sarii harus pulang kembali ke Jakarta, sementara Agis ke Jogja. Aduuuuh sedih sekali. Setelah berpetualang dengan serunya, kami harus berpisah. Dan terus terang, ini adalah tripku yang paling menyenangkan setelah Wakatobi.

Meski Fatimah, Agis, dan Sari sudah pulang, petualanganku belumlah berakhir. Esok harinya masih akan ada perjalanan bersama si pacar, ke sebuah tempat yang selama ini selalu menjadi mimpi dan cita-citaku!

Bersambung yaaaa....