Betul-betul deh ini pengalaman yang akan selalu aku ingat seumur hidup. Sampai sekarang jika mengingat kejadian ini, rasa panik dan takutnya masih terasa. Ketika itu sedang dalam rangka magang sebulan di Wakatobi,dan setelah kurang lebih dua minggu kerja, aku dan teman-teman memutuskan break sekitar 2-3 hari. Kami butuh mengambil nafas setelah hari-hari kerja yang lumayan menguras pikiran. Selain itu, aku dan partner magangku butuh pergi ke tempat di mana listrik dan internet tersedia 24 jam untuk mengerjakan dan mengirimkan report ke pusat. FYI, Pulau Kaledupa tempat kami kerja dan tinggal ketika itu hanya dialiri listrik 12 jam saja setiap harinya! Mulai dari jam 6 sore sampai jam 6 pagi. Dengan jumlah colokan listrik yang terbatas sementara orang-orang yang butuh mengecas laptop, handphone, dan menyambungkan berbagai peralatan elektronik lainnya sangat banyak, jadilah sering tak kebagian mengisi ulang batre handphone dan laptop. Bahkan kadang kami sampai rebutan supaya kebagian colokan hihihi :D
Rumah yang merupakan base dari lembaga yang kami dampingi sebetulnya sudah dipasangkan parabola untuk jaringan internet dan memiliki cadangan listrik tenaga surya, namun kami tidak leluasa berinternet ria karena kolong rumah (rumah-rumah di Pulau Kaledupa mayoritas berbentuk rumah panggung) yang disulap sebagai aula tempat berkumpul masyarakat binaan lembaga tersebut juga merangkap sebagai tempat pembayaran rekening listrik online. Kan gak enak ya kalau harus menyerobot kepentingan masyarakat yang lebih penting. Selain itu setelah dua minggu berada di pulau kecil dengan banyak keterbatasan, kami anak-anak kota yang manja ini mulai rindu peradaban hehehe. Hal-hal kecil seperti televisi, tempe, tahu, dan sayuran, ketika itu menjadi sesuatu yang mewah bagi kami. Maka di suatu subuh yang telah kami rencanakan, kami pun berangkat menuju ibukota kabupaten Wakatobi yaitu Wanci (terletak di Pulau Wangi-wangi).
Kami persisnya tinggal di Ambeuwa, salah satu desa terkemuka di Pulau Kaledupa yang terletak dekat sekali dengan pelabuhan. Kami harus bangun pagi sekali, sekitar jam 4.30 pagi agar bisa sampai di pelabuhan tepat waktu dan tidak ketinggalan speedboat. Kapal cepat ini berangkat dari pelabuhan Ambeuwa sekitar jam 05.00 pagi. Maka subuh itu kami berempat bangun dengan mata masih mengantuk dan tak ada satupun yang sudi mandi. Suasana di pelabuhan mirip sekali dengan pasar. Riuh suara orang-orang yang bercakap dengan teman atau sanak familinya sambil menanti speed boat datang. Di pelabuhan banyak ibu-ibu penjual makanan tradisional Wakatobi diantaranya adalah kasuami. Makanan terbuat dari singkong yang sudah diperas dan dipadatkan serta berbentuk kerucut. Kasuami paling sedap dimakan bersama ikan asin bakar khas wakatobi yang masih setengah kering ketika diangkat dari jemuran. Ikan asin berdaging tebal ini dibumbui garam, bawang, serta rempah. Tidak ada pakai formalin seperti di Jawa (Pulau Jawa maksudnya). Oya, ada cerita menarik tentang ikan asin ini. Mahasiswa-mahasiswa Wakatobi yang kuliah di Kendari (ibu kota Sulawesi Tenggara), ketika berangkat biasanya dibekali banyak sekali ikan asin oleh keluarganya. Tahu kenapa? Karena orang-orang Wakatobi tidak bisa makan ikan laut yang sudah diawetkan dalam pendingin. Setiap harinya mereka makan ikan segar, waktu itu ditangkap waktu itu juga dimasak. Kalaupun terdapat banyak sisa, biasanya para ibu lantas melumurinya dengan tumbukan rempah bercampur garam lalu dijemur. Seorang kawan penduduk asli Kaledupa bercerita, pernah ia makan ikan laut yang dikulkas tak lama badannya langsung gatal-gatal. Maka dari itu lebih baik makan ikan asin bekal dari rumah daripada makan ikan masuk dalam kulkas.
Speedboat yang kami tunggu akhirnya datang dan tak lama berangkat menuju Kota Wanci di Pulau Wangi-wangi. Ooooh Tuhan, bukan kepalang senang hatiku. Membayangkan bisa mengerjakan report dengan lancar dan koneksi internet yang cepat, kasur empuk, hembusan pendingin udara, dan refreshing di kota Wanci! Meskipun disebut kota ya jangan bayangkan kotanya seperti Tasikmalaya. Ini jauh lebih kecil dan fasilitasnya tentulah juga tidak lengkap. Tapi di kota inilah terdapat bandara Matahora, beberapa hotel, rumah makan, ATM, SPBU, salon kecantikan, dan hal-hal lain yang tidak ada di Kaledupa.
Ketika itu ombak tenang dan bersahabat. Perjalanan 1,5 jam dengan speedboat terasa sangat menyenangkan. Apalagi kalau kita melongok dari jendela kapal, bisa melihat karang-karang dan ikan karena perairannya jernih. Tapi ya kalau kebetulan sedang lewat perairan dalam yang kelihatan cuma biru melulu gak ada jernih-jernihnya. Aku terus terang merasa tidak takut apa-apa, karena pengalaman sebelumnya ketika pertamakali datang ke Wakatobi dan harus naik speedboat ini ke Kaledupa terasa asik-asik saja. Menurut penuturan penduduk lokal di Kaledupa, perairan Wakatobi termasuk yang perairannya tenang. Ombak tidak terlalu tinggi. Mengapa bisa begitu, karena Wakatobi merupakan kabupaten kepulauan. Jadi dalam satu kabupaten terdapat banyak pulau. pulau-pulau besarnya merangkap kecamatan di antaranya Wanci, Kaledupa, Binongko, dan Tomia. Karena terhalang pulau-pulau inilah angin yang bertiup di lautan terpecah dan jadi lebih kecil. Bisa dirasakan jika kamu sedang berada di pantai-pantanya, ombak sungguh tenang boleh dikatakan tanpa gelombang. Asik deh...beda dengan pantai-pantai yang kita kenal di Pulau Jawa, yang paling populer misalnya Cipatujah atau Pangandaran, ombaknya besar-besar kan.
Akhirnya daratan mulai tampak, perkampungan suku Bajo terapung di atas air. Aku terpesona, bagaimana ada manusia-manusia yang cinta terbesarnya adalah lautan bahkan bermukim, berketurunan, dan mencari nafkah pun di laut. Suku Bajo atau ada juga yang menyebutnya Bajao, tidak hanya terdapat di Indonesia. Tapi tersebar di seluruh dunia bahkan Afrika! Ini diungkapkan salah seorang kawan yang bekerja di lembaga konservasi lingkungan, yang kantornya nanti kami tebengi jaringan internetnya hehehe. Ia bilang juga, Bajo-Bajo seluruh dunia bahkan memiliki komunitas sendiri. Woooow...hebat benar!
Semakin dekat ke darat, semakin berisik pula suasana di dalam speedboat. Bersiap turun tentu saja, tapi selain itu ada pemandangan menarik. Para penduduk lokal sibuk bertelpon dengan suara kencang, bahkan beberapa sampai di loudspeaker. Ini seperti pertempuran hape-hape berbagai merek. Mereka sibuk mengabari kerabat bahwa mereka sudah sampai. Speedboat ini mendarat di pelabuhan Mola. Ya Alloh, ini di pelabuhan aja airn lautnya tosca bening begitu, kita bisa lihat bintang laut yang gemuk-gemuk dan beberapa macam ikan. Keren! Aku suka sekali dengan kesibukan di pelabuhan, banyak yang bisa kulihat dan kuamati. Salah satunya adalah penjual aksesoris dari kulit penyu! Padahal penyu hijau adalah hewan laut yang dilindungi. Tapi penduduk setempat memiliki kepercayaan bahwa jika kita mengenakan gelang atau cincin dari kulit penyu, kita akan terhindar dari hal-hal buruk. Aku tentu saja tidak membeli, meskipun harganya murah. Dari pelabuhan Mola kami menuju Hotel Jelly, hotel yang jauh lebih kecil dari Hotel Wakatobi yang merupakan hotel terbesar dan terkemuka disana. Terbesar kan belum tentu yang terbaik ya...aku punya pengalaman gak menyenangkan di Hotel Wakatobi ini. Ketika sholat di atas tempat tidur (karena gak yakin dengan kebersihan lantainya), palang tempat tidurnya krakkk! patah! Wucha partnerku sampai ketawa guling-guling saking lucunya melihat aku tersungkur dalam balutan mukena ke kolong tempat tidur. Bukan cuma itu, aliran air di kamar mandinya juga keciiiil sekali. Padahal ratenya lumayan mahal, sekitar 300 ribuan lebih. Tapi ya memang gak rugi, karena ditanggung lembaga hehehe. Maka, bagi kamu yang berniat ke Wakatobi dan akan transit di Wanci sehari untuk menanti speed boat yang biasanya berangkat pagi ke tujuan-tujuan diving spot, aku sarankan menginap di Hotel Jelly saja. Letaknya dekat alun-alun Wanci, dekat kok dari Hotel Wakatobi tinggal jalan sedikit. Di Jelly meski hotelnya lebih kecil tapi lebih nyaman dengan fasilitas spring bed, single dan double, kamar mandi dalam, AC, dan tentu saja bersih. Harganya cuma sekitar 175 ribu. Entah saat ini sudah berubah atau belum harganya.
Setelah menaruh barang kami bergegas sarapan di Rumah Makan Pelangi. Salah satu rumah makan terkenal di Wanci. Masakannya Padang tapi pemiliknya orang Jawa. Lucu kan? Ia sudah lama tinggal di Wanci sehingga logatnya sudah mirip sekali penduduk asli. Masakannya enak-enak dengan harga relatif terjangkau. Yah 20 ribuan lah sekali makan. Harga-harga di Indonesia timur kan memang mahal, mengingat rempah-rempah dan bumbu juga harus didatangkan dari Jawa. Selesai sarapan balik ke hotel, merapikan report, dan...tidur dulu. Tiduuuuur terus seharian dimanjakan hembusan AC. Duh rasanya mewaaaah sekali, karena sehari-hari aku tidur dalam keadaan berkeringat dan dikerubuti nyamuk. Meski begitu aku rindu loh dengan panasnya Kaledupa hehehe...Malam harinya setelah mandi jebar-jebur (di Kaledupa air sangat terbatas, mengalir hanya di malam hari), kami berangkat ke kantor gabungan beberapa lembaga konservasi lingkungan untuk bersilaturahmi dan numpang mengirim email ke pusat. Sisanya adalah pesbukan sekenyangnya hehehe...
Selain mengerjakan report dan menghimpun data serta informasi dari orang-orang yang bekerja di lembaga tempat kami magang, kami juga tentunya bersenang-senang. Menjelajahi Pasar Mola, melihat-lihat cakar alias cap karung (baju-baju second import). Gak cuma baju, banyak juga tas dan sepaatu second lucu-lucu. Aku dapat sebuah kemeja putih seharga 10 ribu saja. Kemejanya lucu banget, sampai aku pake ngemsi di acara pemutaran film di Kaledupa hahahaha. Sementara partner magangku membeli rompi biru berimpel.
Besok paginya harus kembali ke Kaledupa. Saat itu gerimis dan aku sudah duduk manis di dalam speed boat. Sepertiga perjalanan masih hepi dan haha-hihi...tapi kok makin lama kapal olengnya makin heboh? kapal rasanya kayak lompat-lompat di ombak sehingga menimbulkan bunyi brakkk! brakk! yang keras. Hujan makin deras, penumpang yang tadinya berisik berubah diam. Aku merasa mulas. Mukaku pias dan panik setengah mati. Apakah ini yang disebut badai di tengah lautan. Buih putih makin banyak, ombak bergulung tinggi, warnanya tidak biru lagi, tapi hitam! Hwaaaaa....aku dan orang-orang lain menjerit ketika kapal oleng ke kiri dan ke kanan diterjang ombak. Mendadak aku komat-kamit berdoa, mohon ampun pada Tuhan atas segala dosa, ingat wajah kedua orangtua, teman-teman, dan murid-muridku. Aku tidak bisa berenang. Oke, berenang di kolam lumayan lah bisa, tapi di tengah laut yang sedang bergejolak? Oh Tuhan...lindungi kami...selamatkan kapal kami...Ketika sebagian besar orang panik, masih ada beberapa yang berpembawaan tenang. Kapten kapal masih menghisap rokoknya dengan nikmat, polisi-polisi yang duduk tepat di sampingku juga masih asik mengobrol tentang sebuah kasus yang terjadi di Kaledupa, dan partner magangku bergelung di bangkunya dengan menutupi muka. Kurang ajar! Bagaimana dia bisa setenang itu coba?
Aku takut tenggelam. Aku pernah tenggelam di Pangandaran dan tak ada seorang pun menyadarinya. Ketika itu masih SD, sedang ada acara piknik akhir tahun. Aku dan teman-teman berenang, makin lama makin jauh ke tengah saking asyiknya. Tiba-tiba ada ombak besar datang mengehmpasku, aku yang saat itu posisinya jinjit kehilangan kendali, terbawa arus, kakiku menggapai tak mendapat pijakan. air laut masuk ke mulutku. Aku panik, tanganku menggapai-gapai. Aku tenggelam! Aku mau mati! Dan tiba-tiba tanganku menggapai sesuatu, langsung kupegang erat. Ternyata itu adalah tambang pengikat ban sewaan. Ketika kepalaku muncul ke permukaan, kulihat tak ada kepanikan. Semua tampak normal, kawan-kawanku tertawa-tawa gembira. Rupanya aku tenggelam sebentar saja sebetulnya, tapi rasanya seperti lama sekali. Maka tak heran ketika terjebak badai di laut, paniknya bukan main. Perasaan takut tenggelam muncul lagi.
Semakin dekat ke daratan ombak semakin besar. Sudah sulit kugambarkan perasaanku ketika itu. Pokoknya ngeri. Ketika kapal oleng, air laut sampai masuk melalui jendela-jendela kaca. Aku tak sadar kepanikanku menjadi tontonan kapten kapal dan para polisi di sampingku. Aku baru tenang setelah dermaga mulai terlihat, meski masih berupa titik kecil tapi perlahan darah berdesir mengaliri tubuhku lagi. Keteganganku perlahan kendur. Sudah dekat, sudah hampir sampai...kami pastti selamat. Akhirnya kapal semakin dekat ke pelabuhan dan ketegangan di wajah para penumpang perlahan sirna tergantikan rasa lega. Tak sedikit yang mengucap syukur karena selamat sampai tujuan. Ketika menginjakkan kaki di daratan rasanya lututku masih gemetaran. Ditambah pula badan kedinginan karena kehujanan. Kami memutuskan mencari makanan penghangat badan.
Keesokan harinya ketika bertemu Mama Amri, kepala dapur di lembaga dampinganku, aku ditertawakan habis-habisan. Katanya ia mendengar dari awak-awak kapal di pelabuhan ada perempuan menjerit-jerit ketakutan di atas kapal ketika badai. Itu adalah aku! Rumah mama Amri memang dekat dengan pelabuhan. Hahahaha...nasib tinggal di pulau kecil, berita seremeh apapun cepat sekali menyebar. Aku ikut tertawa saja mengingat tingkah konyolku kemarin. Kupikir hanya kami-kami saja yang tahu cerita memalukan ini, eh pas lewat kantor polisi lagi-lagi aku ditertawakan oleh sekelompok polisi muda yang sedang berjaga di depan. Rupa-rupanya salah satu di antara mereka dalah polisi yang duduk di sampingku kemarin ketika menyebarang ke Kaledupa. Oalaaaaah...bukan main malunya akuuuuu *tutup muka*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar