Arsip Blog

Jumat, 25 November 2011

Pahit Manis Nge-Bis

Hadoh, silahkan ngedumel dan ngomel-ngomel karena sekian lama gak menulis maupun naikin foto untuk blog baru saya ini. Hihihi...bay the way, tolong dido'akan yah, supaya proses penyusunan skripsi saya berjalan lancar, dosen pembimbing mood-nya selalu baik, dan kulit muka tetep kenyal lagipula kinclong meski sering dibawa begadang. Aaaah kulit muka terancam ketentramannya berhubung kampus saya berada di kota tetangga, Ciamis sana, jadilah setiap kali bimbingan menabahkan hati berdesakan di bis ukuran tiga perempat nan produktif pula menghasilkan polusi :'(  Eh tapi tapi tapi....sebetulnya menikmati banget kok nge-bis kesana-kemari. Seringnya setelah naik jadi males turun. Habis...naik bis itu enak karena bisa melamun berlama-lama.

Memang sih ya melamun dalam bis adalah hobi yang agak aneh...Si pacar samapai sekarang gak paham juga dengan kesukaan saya menyengajakan diri nge-bis supaya bisa melamun dengan nikmat. Hobi baca buku dia sangat paham karena orang banyak melakukannya juga. Makanya satu setengah tahun pacaran ini udah lumayan banyak hadiah buku dari doi hehehe....Hobi saya yang lain yaitu makan, dia juga masih paham. Yaaa meskipun saya paham juga kadang kalau saya minta tambah porsi ke penjualnya dia kayak pengen pura-pura gak kenal sama saya hahahahaha....Tapi hobi melamun dalam bis? Ohlalaaaa....buat dia itu sulit dimengerti dan agak aneh hehehe. Tapi ternyata bukan cuma si pacar yang merasa aneh, sebagian saudara-saudara saya juga sering gak habis pikir, ngapain saya sampai menyengajakan ngebis berlama-lama padahal resikonya gawat. Dicopet, kecelakaan, dibius dan dirampok barang-barangnya. 

Adalah Mama saya...seorang perempuan luar biasa bawel, rame, agak preman, slebor, kalau ketawa ngakak gak tau tempat, tapi gampang terenyuh dan jatuh kasihan pada hewan terlantar...17 tahun lalu menyuruh saya berlibur ke tempat nenek di Pamarican, naik bis antar kota sendirian. Jadi saya ketika itu kelas 4 SD dan pagi harinya habis terima rapot, otomatis dong ya di pikiran anak-anak jaman itu libur sekolah artinya pergi ke rumah nenek. Mama saya mengijinkan tapi dia bilang kali ini gak diantar. Bapak sibuk di tempat kerjanya jadi gak bisa antar, sementara Mama banyak kerjaan di rumah, jadi pilihan terakhir adalah saya boleh pergi tapi sendiri! Saat itu sambil menemani saya packing dan siap-siap, Mama berpesan: "Inget ya dari sini naik angkot 07 turun di Simpang Lima. Nanti tunggu bis Budiman warna ijo ada tulisan gede-gede 'Tasik-Pangandaran', nah naik bis itu. Terus bilang kondekturnya minta turun di terminal Banjar. Habis itu naik angkot 07 lagi jurusan Pamarican." Saya manggut-manggut disertai lubang hidung mekar dan hati berbunga-bunga. Wowww...saya bakal naik bis sendiri! Bisa jajan kacang rebus, tahu, lontong, dan banyak lagi tanpa diomeli. Singkatnya, berbekal clue 07-Banjar-07 saya mantap berangkat ke rumah nenek sendirian. Pesan terakhir yang saya dengar ketika pamit cium tangan adalah: "Jangan planga-plongo dan kelihatan bego. Jadilah pemberani dan selamat sampai tujuan!" Tentunya nasihat tersebut diucapkan dalam Basa Sunda hehehehe...Dan begitulah, dua jam kemudian saya sampai rumah nenek dengan selamat dan disambut tatapan kagum dari sepupu-sepupu yang naik angkot sendiri ke kecamatan aja belum berani. *bakat songong sudah tumbuh sejak kecil rupanya* ngohohoho :D

Tasik-Bojonegoro (17 jam)

Lima tahun yang lalu, persisnya dua hari menjelang Idul Fitri, saya melakukan perjalanan dengan bis terlama dalam hidup saya. Tujuannya Bojonegoro. Sebuah kota kecil di Jawa Timur yang dapat dicapai dengan dua kali naik bis. Pertama naik bis jurusan Surabaya, turun di Ngawi untuk kemudian ganti bis tiga perempat tujuan Bojonegoro. Keseluruhan waktu yang dihabiskan adalah kurang lebih 17 jam! Entah deh, tiba-tiba iseng aja pengen berkunjung ke rumah Paman yang menikah dengan orang Bojonegoro dan akhirnya berdomisili di sana. Pertamakalinya saya ke Bojonegoro adalah ketika saya masih TK. Waktu itu ke sana beramai-ramai bersama Mama, Uwa yang kembarannya Mama, Paman, Bibi, Nenek, Kakek, dan sepupu-sepupu, sehingga kami terlihat seperti rombongan bedol desa hahahaha. Ributnya bukan main! Tapi sayangnya setelah dewasa saya cuma ingat sedikit saja kenangan perjalanan tersebut. Itu pun diceritai Mama kalau saya waktu kecil muntah-muntah hebat akibat mabuk perjalanan. Huaaaah sungguh tidak keren! Maka bertekadlah saya untuk melakukan perjalanan lagi ke sana, selain karena kangen dengan Paman, Bibi, dan sepupu-sepupu, saya juga ingin menantang diri: sampai gak ya ke tujuan?

Di luar dugaan, ketika rencana ini saya bilang ke Mama, responnya langsung positif! Malah moment-nya kebetulan pas. Setiap lebaran kan mesti saya dapat jatah uang yang jumlahnya lumayan besar, maka uang tersebutlah yang kemudian saya jadikan bekal perjalanan ke Bojonegoro. Ketika itu di hari yang sudah saya tetapkan, berangkatlah saya ke Bojonegoro, persisnya dua hari menjelang Lebaran. Gambaran mengenai situasi perjalanan saya dapat dari cerita-cerita Paman dan saudara yang pernah ke sana. Oke, setidaknya saya punya pegangan meskipun sisanya 'embuh' alias nggak tau yaaaa hihihi...yang terjadi maka silahkan terjadilah...Start dari terminal Banjar, saya naik bis Mandala jurusan Bandung-Surabaya sekitar jam setengah 4 sore. Sampai terminal Purwokerto baru saya merasa aneh sendiri. Mak! di bis ini orang Sundanya cuma saya sendiri. Sisanya orang-orang Jawa yang hendak mudik menuju Jawa Timur. Saya sampai ditanyai kondektur bis, kok aneh sekali ada perempuan Sunda mau pulang ke Jawa. Begitu katanya. Saya jawab mau berlebaran di tempat saudara di Jawa. Nah di Terminal Purwokerto ini banyak kejadian yang bikin saya melongo:

1. Para penumpang di bis Mandala yang saya tumpangi disortir kondektur. Kalau tujuannya dekat saja, maka dioper ke bis lain yang sudah disediakan. Saya sih gak dioper karena tujuan saya masih jauh, yaitu Ngawi.

2. Setelah setengah penumpang bis berpindah ke bis lain, kemudian berbondong-bondong masuklah orang-orang yang secara fisik kelihatan sangat lelah, lusuh, dan maaf, bau badannya menyengat sekali. Rupanya mereka ini adalah para pemudik dari Medan tujuan Surabaya yang dipindah oleh awak bis yang semula mereka tumpangi. Seorang ibu memberitahu saya bahwa awak bis Medan-nya ingin berlebaran di Medan maka mereka memutuskan balik ke Medan secepatnya. Sementara para penumpang dioper ke bis tujuan Surabaya. Perihal bau badan tak sedap itu, ya wajar sajalah...mereka di jalan sudah 2 hari sehingga selama itu pula tidak mandi. Yang tadinya saya kesal malah balik terharu lho...betapa ya, fitrah manusia untuk selalu kembali ke tempat dia berasal (yang kita sebut mudik itu) memang benar adanya. Menempuh perjalanan yang demikian jauhnya demi bisa berkumpul bersama keluarga barang beberapa hari, lalu di hari yang sudah ditentukan kembali menempuh perjalanan lagi menuju tanah perantauan. Memang enaknya naik pesawat, tapi di saat-saat mudik Lebaran kan harga tiket pesawat sungguh tak terjangkau. Tuh,...padahal udah 5 tahun erlalu tapi kalau inget masa-masa itu saya selalu melankolis dan berkaca-kaca gini...

3. Tambah hancur-berantakan lagi gak isi hati, saking kuatnya daya tarik mudik, seorang ibu yang sedang hamil tua bela-belain pulang dari perantauannya supaya bisa melahirkan di kampung halaman. Ibu yang perutnya besar itu sama sekali gak nyaman duduk di kursi penumpang, akhirnya dia minta kondektur bis menggelar kardus bekas di lorong bis, di antara barisan kursi penumpang. Duh...duh...duh...padahal banyak yang menawarkan tempat duduknya supaya bisa digunakan si ibu...

Sudah lewat tengah malam, saya segera menyiapkan diri untuk turun di Ngawi. Kesimpulan obrolan dengan kondektur bis, biasanya bis sampai Ngawi jam setengah 2 pagi. Setengah 2 pagi saudara! Masih bisa dibilang tengah malam buta itu! Saya mesti turun di Ngawi untuk kemudian berganti bis menuju Bojonegoro. Alhamdulillah dengan ilmu 'pura-pura udah sering lewat sini' yang diajarkan Mama saya, akhirnya saya menemukan juga bis ukuran tiga perempat tujuan Bojonegoro. Sialan! Saya kira jauh gitu, ternyata cuma sekitar 20 langkah di depan tempat saya turun. Hahahaha....padahal ngeri lho banyak tukang ojek dan becak yang merayu-rayu mau mengantar sampai tempat bis Bojonegoro berada, sehingga mengesankan tempatnya jauh. Lha wong cuma di depan sana itu kok hihihi...It worked! Dengan tenang, gak panik, dan pasang tampang akamsi (anak kampung sini), saya sukses berpindah bis di tengah malam. Kegembiraan cuma berlangsung sekitar satu jam, karena kemudian saudara-saudari....tercium bau benda terbakar dari bagian mesin. Sehingga kami para penumpang ini diminta turun di pinggir jalan dengan pemandangan kanan-kiri hutan jati. Itu juga saya tahu dari salah satu penumpang yang memang orang situ, kalau gak dikasih tau mana saya ngerti itu hutan jati atau bukan. Gelap semua! Kesimpulannya kami mesti pindah bis, karena bis yang ini harus diperbaiki. Sesuatu bangetlah menjelang sahur kudu nelen ludah doang dan menggigil di tengah kerumunan orang asing dengan bahasa yang gak saya pahami. Sejam kemudian bis pengganti yang dijanjikan awak bis sebelumnya datang. Kami bersorak dan segera naik. Saya bersandar letih di tempat duduk dekat jendela. Gila! Gila! Sebetulnya apa coba yang saya cari? Paman mengabari lewat telepon  sudah menunggu di terminal Bojonegoro dan keheranan mengapa bisnya lambat sekali. Ketika bis memasuki pintu masuk terminal Bojonegoro, keharuan mendesak dari dada. Saya senang, bahagia, lemas, lapar, dan merasa gila sekaligus. Menerobos penumpang lain yang berjejal di pintu keluar, akhirnya saya bisa menjejakkan kaki di kota Angling Dharma tersebut. Pertahanan saya jebol di dada Paman saya. Kami bertangisan, kangen sekaligus juga melepas ketegangan akibat mencemaskan saya selama di perjalanan. Katanya orang serumah gak tidur, was-was saya gak sampai hehehehe

Ketinggalan Bis dan Terlantar Tengah Malam di Terminal

Mau tahu bagaimana rasanya? Jangan mau tahu! Karena sumpah gak enak dan rasanya kayak mau mati. Apalagi kalau kita baru pertamakali menginjakkan kaki di tempat tersebut. Pengalaman pertama ketinggalan bis ya sepulang dari Bojonegoro itu. Saya balik dua hari setelah lebaran dengan pemikiran arus balik kan bisanya mencapai puncak seminggu setelah lebaran. Harapannya perjalanan saya balik ke Tasik bisa lancar. Saya berangkat dari terminal Bojonegoro jam setengah 4 sore. Tidak ada bis langsung ke Bandung artinya saya mesti transit Ngawi untuk nyari bis ke Bandung (kenapa Bandung? karena arah ke Bandung kalau lewat selatan searah dengan Tasik). Perjalanan Bojonegoro-Ngawi selama 3 jam itu lancar. Saya sampai Ngawi jam setengah 7 malam, turun...pede...mau nyari bis ke Bandung. Ketika masuk ke dalam terminal yang saya dapati adalah suasana remang-remang seram karena toko-toko dan agen penjual tiket sudah tutup semua. Saya panik, saya tanya bis ke Bandung adanya jam berapa. Seorang bapak yang sedang menutup tokonya bilang terakhir jam 2 siang. Hwaaaa....rasanya pengen nangis jerit-jerit. Tapi segera wajah Mama beserta nasihat premannya muncul di ingatan saya: "Jangan planga-plongo dan kelihatan bego!" Tarik nafas dalam-dalam....saya memutar otak. Oke, ini musim mudik, mestinya di sekitar sini ada posko mudik, pos polisi atau semacamnya. Saya berjalan keluar terminal dan tadaaaa...ada pos polisi mungil di dekat pintu masuk yang gak terlihat ketika turun dari bis akibat keadaan terminal yang minim penerangan. Saran Pak Polisi, sebaiknya saya nyambung-nyambung saja. Naik bis dari Ngawi jurusan Surabaya-Jogja, turun di Jogja baru nanti turun dan cari bis ke Bandung. Logikanya kan Jogja udah makin deket ke barat, pasti banyak bis ke Bandung dari sana. Maka naiklah saya ke bis jurusan Jogja dan turun di Giwangan untuk pertama kalinya. Jam setengah 11 malam! Hahaha...sempet kepikiran, aslinya Mama itu sayang apa enggak ya sama saya? Kok ya perjalanan jauh seperti ini dengan resiko besar pula, dia malah ngasih ijin. Cari bagian informasi di Giwangan, cari tau bis ke Bandung...dan tadaaaa ternyata masih ada bis terakhir malam itu. Jam 1 malam. Mandala lagi! Waduh ini kejadian apa ya ngomong-ngomong kok bisa kebetulan naik bis yang sama. Girang gitu dong saya melangkahkan kaki menuju koridor bis tujuan Bandung. Ketemuuuu! Tinggal duduk manis dan isi perut sambil menunggu bis. Tepat jam 1 malam, bisnya datang hehehehe...

Kejadian ketinggalan bis kedua adalah ketika saya balik dari Denpasar. Saat itu juga beberapa hari pasca lebaran. Dari Denpasar jam 4 pagi, sengaja berangkat ke bandara sepagi mungkin mengingat antrean di counter check in yang panjangnya gila. Jam 5 lebih saya sudah di ruang tunggu bandara, kedingginan, dan masih lapar meski sudah melahap dua buah roti keju. Pesawat saya boarding jam 07.00WITA. Yang artinya sampai Adisucipto di jam yang sama: 07.00 WIB. Sengaja saya balik lewat Jogja daripada Jakarta, karena di Jogja saya lebih kenal medannya sehingga merasa lebih aman. jam 7 saya sudah sampai Jogja, langsung keluar ke halte busway bandara. Nunggu Transjogja menuju ke Terminal Giwangan. Setengah jam kemudian sudah di Giwangan. Saya pede aja karena bis Budiman andalan saya itu jadwal keberangkatannya masih sampai jam setengah 9. Masih kebagian bis lah saya. Eh...udah setengah jam nunggu bis nya gak dateng juga...eh udah jam 9 kok gak muncul juga. Mas Bis Budiman kok menghilang? Yang panik bukan cuma saya, tapi juga banyak calon penumpang lain. Malah ada yang balik lagi ke rumahnya dan berangkat besok pagi saja. Saya puter otak, gimana caranya bisa sampai Tasik hari itu juga karena jatah libur saya cuma sampai hari itu. Saya menoleh ke bis warna biru di koridor sebelah, jurusan Cilacap. Itu bis Efisiensi, bis patas. Jogja-Cilacap ditempuh dalam 4 jam. Cilacap ke Tasik kan udah makin deket aja. Hmmmm...nanti gampang dari Cilacap bisa naik bis Purwokerto tujuan Bandung yang semoga aja masuk terminal Cilacap. Dan tanpa pikir apa-apa lagi, saya segera naik bis Efisiensi jurusan Cilacap itu. Sepanjang perjalanan pikiran saya gak tenang,  takut terlantar lagi di terminal. Duh mampus deh kalau kejadian. 4 jam kemudian bis masuk terminal Cilacap, saya turun, dan gak sadar celingak-celinguk....saya cari koridor bis menuju Tasik gak ketemu. Ketika itu terminalnya semrawut acak-adul. Akhirnya saya tanya ke petugas terminal berseragam (jangan-jangan tukang parkir, saking panik dikira petugas terminal karena berseragam hahahah). Lalu saya ditunjukkan jalan menuju tempat tunggu bis ke Tasik. Jadi yaaa itu semacam kumpulan bangku panjang dengan gerombolan orang menuju ke Tasik. Kabar baiknya lagi, bis yang sedang dinanti tersebut adalah bis terakhir. Penuhnya mampus gak tuh??? Ketika bisnya datang, serentak orang-orang menyerbu pintu masuk bis. Untung saya kurus ketika itu. Dengan sedikit goyangan dan ilmu menerobos kerumunan yang sudah lumayan terlatih, akhirnya saya dapat tempat duduk dekat jendela. Yihaaaa...! Saya bisa pulang hari itu juga! Saya gak jadi nginep di terminal! Saya bahagia bisa memperjuangkan diri agar bisa pulang, lalu beneran pulang....Badan kejepit-jepit dan bau ketek menari-nari di udara saya gak peduli, yang penting bisa pulang!

Phiuuuh....panjang amat ini tulisan hehehe...ini bersambung ah...karena masih ada beberapa cerita tentang nge-bis lainnya yang saya punya....

BERSAMBUNG

5 komentar:

  1. jiahahaha .... asoy banget dah backpackerannya. Keren Nu, salut banget dengan pengalaman ngebis-nya yang aduhai. hehehe

    Eh, padahal drpd dari Denpasar turun di Jogja, mending lewat jakarta lho. lebih banyak alternatif bisnya dari bandara Soeta :D

    BalasHapus
  2. Kang Iwok-- Itu aslinya karena kagak mampu aja naik kereta eksekutippp! Hihihihi....aku takut kalo turun di Soetta...kalo di Jogja karena kenal medannya jadi gak khawatirrrr...

    BalasHapus
  3. wah kak kebiasaan ngebis mah masih elit kak bengong atau ngelamun di bis.. kalo aku senengnya ngebolang ama ngelamun bengong di angkot kak kalo lagi galau atau banyak pikiran..hehe.. kak gabung juga yah di blog aku ^_6 khamsa hamida..

    BalasHapus
  4. okey...tapi aku juga gak ngerti ini caranya meng-add di blogger ini...cuma taunya nulis ajah...makasih udah mampir yah...

    BalasHapus
  5. "(Terminal Ngawi) suasana remang-remang seram" memang benar. (lol)

    BalasHapus