Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya tentang ceritaku menjelajah dataran tinggi Dieng. Sepeninggal kawan-kawan seperjalanan ke kota masing-masing, keesokan harinya aku dan sipacar melanjutkan perjalanan ke sebuah tempat yang sangat berarti bagiku. Tempat tersebut adalah simbol kedamaian, keheningan, kesejukan, sumber penghidupan, dan melegakan. Tempat ini telah lama kuimpikan untuk bisa kudatangi. Tapi karena satu dan lain hal, selalu saja tidak kesampaian. Dan aku bersyukur, ketika akhirnya mimpiku tercapai, aku bisa membagi sukacitanya bersama orang yang kusayangi. Dan ehem...sesungguhnya, mimpi ini bisa terwujud berkat kebaikan dan kegantengannya juga *eh?
Jadi ketika ngobrol dengannya, seriiing sekali aku menceritakan mimpiku untuk lari-lari di kebun teh. Iya, errr...agak aneh memang mimpiku, tapi buatku bisa berlari-lari kecil di antara deretan rumpun teh adalah sesuatu yang nampaknya melegakan. Sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah hijau....damai...sejuk...sunyi....Pokoknya bayangan tentang menyendiri dan berbuat apa pun yang kusuka seperti lari-lari, tea walking, menyentuh basah embun di ujung dedaunanya, dan diam melamun di tengah perkebunan teh selalu muncul kapan saja. Tentunya aku sering juga googling tentang perkebunan teh terdekat dari kotaku. Misalnya perkebunan teh di Taraju, Kabupaten Tasikmalaya, perkebunan teh Malabar dengan kisah Boscha yang gemar menyendiri di sebuah bukit menghadap hamparan perkebunan teh miliknya, dan perkebunan-perkebunan lainnya. Hingga ketika rencana backpacking ke Dieng itu bergulir, sipacar tiba-tiba bilang: "Nanti aku ajak kamu ke Tambi yah! Itu perkebunan teh dekat dataran tinggi Dieng." Waaaah perempuan mana yang tidak senang, mimpinya turut diwujudkan oleh seseorang yang begitu istimewa di hatinya :D
Nah...nah..nah...di tengah euforiaku yang membahana, rupa-rupanya sipacar baru ngeh kalau rem belakang motornya tidak berfungsi. Dia yang tahu betul salah satu hal yang kutakuti adalah naik motor, memutuskan untuk tidak memberitahuku. Dia tidak ingin merusak suasana hatiku yang sedang sangat gembira. Naik motor saja sudah takut, gimana kalau tahu rem motornya bermasalah? Pasti aku akan panik luar biasa. Ini cerita tentang rem yang rusak aja aku baru dikabari setelah aku sampai rumah! Hihihihi...Tapi meski kami turun dari Dieng dengan rem belakang yang tidak berfungsi, sipacar menjalankan motornya dengan lancar dan aman terkendali. Aku yang duduk dibelakang sih hepi-hepi (ada yang bilang ke-tidaktahu-an itu seringkali memberi rasa aman). Hahahaha...mungkin ini benar adanya.
Perkebunan teh Tambi terletak kurang lebih 16 kilometer utara kota Wonosobo. Jalan menuju perkebunan teh ini adalah jalan utama yang sama menuju ke Dieng. Hanya saja, sebelum sampai ke Dieng, ada belokan ke kanan dan penanda berupa gapura bertuliskan Agrowisata Tambi. Sementara aku dan sipacar datang dari arah Dieng, jadi kami belok kiri. Agrowisata Tambi ini dikelola dengan cukup baik, ada penginapan berupa homestay yang dikelola pihak perkebunan jika ingin menginap. Bagusnya pesan jauh-jauh hari ya, karena sering full booked, terutama di akhir pekan.
Kami menitipkan motor di depan pos keamanan. Jika ingin tur keliling perkebunan dan belajar tentang teh beserta sejarah dan pengolahannya, kita harus ambil paket yang ditawarkan pihak perkebunan seharga Rp. 250.000,- Tapi karena saat itu aku juga tak berniat berlama-lama karena harus segera pulang ke Tasik, akhirnya kami hanya memutuskan berjalan-jalan saja di tengah perkebunan. Kalau cuma jalan-jalan mah gratis kok. Tapi aku dan sipacar berjanji akan kembali lagi kesana suatu hari, karena kami sama-sama penyuka teh dan ingin belajar lebih lanjut mengenai teh :)
Dan...inilah saat-saat sakral tersebut. Aku masuk melalui celah diantara rerimbunan tanaman teh. Embun membasahi jaketku. Pegunungan seolah tersenyum ponggah menyaksikan kebodohan seorang perempuan berusia 27 tahun yang gugup dan tegang karena akhirnya bisa menginjakkan kaki di tempat yang selama ini diidam-idamkannya. Sipacar juga tidak banyak mengajakku bicara, toh aku juga ketika itu rasanya seperti lupa akibat tersihir kehijauan, kedamaian, dan kesunyiannya. Aku merasa sentimentil, lantas tertegun. "Ayo lari!" Teriak suara dari dalam hatiku. Tapi aku tak kunjung berlari. Aku malu...meski sipacar pastinya akan paham jika aku berlari-lari seperti anak kecilpun, tapi aku tetap saja merasa malu. Sipacar seperti mengerti kegugupanku, lalu dia bilang akan pergi mencari toilet dan 'melepasku' sendiri di sini...di tengah perkebunan teh impianku ini. "Aku tunggu di pos tadi yah...sms-an yah...Kamu beneran gak apa-apa jalan-jalan sendiri?" Aku menganggukkan kepalaku kuat-kuat. Iya! Aku akan baik-baik saja.
Setelah dia hilang dari pandangan, segera aku mengambil ancang-ancang dan berlari di jalan kecil yang membelah perkebunan teh tersebut. Awalnya kencang, namun seiring nafas yang tersengal-sengal, aku pun berlari kecil, lalu berjalan pelan. Aku tanpa ragu memasuki celah-celah disela rerimbunan dan terserah nasib akan membawaku kemana. Saking asyiknya berjalan-jalan sesuka hati, aku kebingungan mencari jalan menuju pos keamanan tempat sipacar menunggu. Dia menawarkan diiri untuk menjemput. Tentu saja aku menolak dan bertekad memutuskan mencari jalan sendiri. Ternyata aku berjalan melenceng dan sudah sangat jauh dari tempat semula. Sehingga ketika akhirnya menemukan jalan raya, aku berada di bawah pos keamanan tempat kami menitipkan motor. Terpaksa menguatkan diri untuk mendaki karena kondisi jalannya menanjak. Ketika sampai di pos keamanan, aku langsung mengoceh ini-itu pada sipacar. Dan dia menyahut santai : 'pasti baliknya ngojek yah?" sambil tersenyum jahil. Dan bukkk...langsung kutonjok lengannya keras-keras.
Hari sudah semakin siang, kami memutuskan untuk turun ke Wonosobo, menikmati satu sesi lagi acara backpacking kami yaitu wisata kuliner khas Wonosobo! Makanan khas Wonosobo adalah mie ongklok, yaitu mie berwarna kuning yang dimasak dengan cara diongklok-ongklok dengan serokan yang terbuat dari anyaman bambu. Mie ini dihidangkan dengan kuah kental mirip-mirip maizena, lalu diberi bumbu kacang. Rasanya cenderung manis. Mie ongklok disajikan dengan pasangan sejatinya yakni sate sapi. Entah mengapa, menurut orang wonosobo, makan mie ongklok wajib dinikmati bersama sate sapi. Dan...sebagai penetral rasa manis, masih ada tempe kemul gurih juga teh hangat yang diproduksi dari perkebunan teh Tambi. Mantap!
Duh, sampai rasanya beraaat sekali ketika waktu pulang tiba. Seketika aku jatuh cinta dengan kota kecil yang diliputi kesejukan dan kedamaian ini: Wonosobo. Kelak aku akan datang lagi, karena kami masih punya janji untuk bersama-sama menyesap sedapnya teh Tambi dan belajar lebih lanjut mengenai teh langsung di perkebunanya.
Terimakasih untuk segala kesabaran dan pengertiannya, and to tell you the truth...ini adalah salah satu perjalanan terbaik yang pernah kualami :-*
perjalanan terbaik karena dengan seseorang yang disayangi,,cikittiiiiwwwww,,,hehehehe
BalasHapusnah entu dieeeee....biasanya sok sok tegar padahal dalam hati: "huh, cobaaaa ada laki gue" *gigit resleting ransel*
BalasHapus