Arsip Blog

Minggu, 05 Februari 2012

Bromo: Travel Alone Is Not Lonely


Hooorayyy! Akhirnya setelah direncanakan berbulan-bulan, atur jadwal, nabung, dan lain sebagainya....terwujud juga impian solo traveling ke Jawa Timur. Aduh ya ampun, Jawa Timur itu cantik sekali dan punya banyak tempat-tempat menarik untuk dikunjungi. Awalnya ini gara-gara sebuah novel berjuadul 'Lian Nio' yang ditulis oleh Suwandono, sebuah kisah nyata yang bersetting Kota Banyuwangi. Kota yang selama ini terkenal dengan pelabuhan Ketapang yang menghubungkan Pulau Jawa dan Bali. Akhirnya jadi sering googling, dan ternyata memang banyak tempat cakep-cakep di Banyuwangi yang luput dari perhatian orang karena kalah pamor dengan Bali. Lucunya, di kantor tempat kerja dulu, aku punya sahabat orang Banyuwangi. Baru sebulan lalu dia dan keluarga kecilnya kembali ke Banyuwangi setelah setahun hidup di Tasik. Lebih asyik lagi, rumahnya berada dekat sekali dengan pelabuhan Ketapang. Sampai dia bilang gini: "Kalau kamu main ke Banyuwangi, nginepnya harus di rumahku! Nanti kita makan siang di Men Tempeh (rumah makan dengan resep ayam betutu paling terkenal di bali), nyebrang ke Banyuwangi!" Hahahaha...gokil kan, saking deketnya, makan siang aaja songong nyebrangin Selat Bali.

Tapi memang dasar gak kuat iman, lain hari aku lihat Iwan Setyawan si penulis 9 Summesr 10 Autumns posting foto-foto Kota Batu. Emang cakep banget. Apalagi Selecta. Duh ampun, kebon bunga yang super luas dengan latar belakang gunung-gunung, dan hawa yang sejuk. Menginspirasiku untuk melihat dan merasakan sendiri keindahannya. Jadilah menyusun rencana awal trip kali ini final destination-nya adalah Batu. Tapi ketika googling, gak sengaja nyasar ke blog seorang perempuan yang backpackeran bersama seorang kawannya ke Jawa Timur. Bikin ngiler gak sih, selama seminggu itu dia ke Pulau Sempu, menikmati sejuknya Batu, dan...ke Bromo. Berdasarkan info dari tulisannya, ternyata ke Bromo bisa ngeteng! Yang selama ini di pikiran orang-orang ke Bromo itu muahalll karena harus ikut paket tour beramai-ramai. Dan...seperti yang bisa diduga, aku akahirnya merubah rencana. Yang tadinya mau jalan-jalan santai di tengah kebun bunga dan wisata petik apel, malah melenceng jadi berpetualang ke Bromo! Enaknya pergi sendiri adalah kita bisa merubah rencana sesuka hati tanpa dicemberutin temen-temen :p

Hari Ke-1 (Kamis, 26 Januari 2012)

Stasiun Kereta Api Tasikmalaya. Tepat pukul 18.23 kereta api Malabar Express tujuan akhir Malang berangkat. Aku ambil kelas bisnis dengan harga tiket Rp. 175.000,-. Tadinya mau pake bis, tapi setelah dipikir-pikir harus sering gonta-ganti karena gak ada bis dari Tasik yang langsung ke Malang. Lagipula ongkos bis kalau dikalkulasi cuma beda tipis aja dari ongkos kereta api. Jadi di dalam kereta tinggal bobo manis aja, besok paginya kan bisa segar dan melanjutkan petualangan. Meski sendiri, tapi gak merasa sepi. Aku menikmati sekali bisa melihat pentas fragmen-fragmen kehidupan dalam kereta. Di bangku seberang, ada seorang bapak yang sedang menjagai anak perempuan kecilnya tidur. Di bangku depan kulihat ada pemuda yang rikuh sekali karena duduk satu seat dengan wanita berpakaian seksi. Aku sendiri puas bisa duduk dekat jendela dengan tempat duduk yang hanya milikku sendiri. Memang ketika malam bertambah pekat, tak ada yang bisa kulihat di luar selain gelap. Aku putuskan membaca buku baru yang sengaja kubeli untuk menemani perjalananku kali ini: 'Life Traveler' karya Windy Ariestanty. Sesekali kucomot roti tawar pandan tanpa selai yang sengaja kubawa sebagai bekal. Sisanya kuhabiskan malam dengan tidur pulas. Entah mengapa, dengan melakukan perjalanan sendiri rasanya lebih romantis.

Hari Ke-2 (Jum'at, 27 Januari 2012)

Stasiun Kota Baru Malang. Tepat pukul 8.20 pagi kereta tiba. Bergegas menuju toilet stasiun untuk cuci muka dan gosok gigi. Tak boleh mandi pikirku, takut masuk angin. Hebatnya toilet di stasiun ini gratis, lumayan duitnya bisa buat ongkos angkot menuju Terminal Arjosari. Dari stasiun, aku memang harus melanjutkan perjalanan menuju terminal bus. Atas saran dari seorang ibu pemilik toko kue di pintu keluar stasiun, aku menyeberang dan menyetop angkot ABG dengan tujuan akhir Terminal Arjosari. Lamanya sekitar 20 menit dengan tarif Rp. 2.500,-.

Di angkot aku bertemu kawan seperjalanan pertamaku. Keluarga kecil yang terdiri dari suami-isteri muda dengan seorang anak laki-laki berusia 4 tahun bernama Adit. Mereka bermaksud melanjutkan perjalanan ke Jember, setelah menempuh perjalanan jauh dari Banten. Dan kami sepakat akan naik bis yang sama, karena untuk menuju Bromo aku harus naik bis jurusan Jember, tapi turun di Probolinggo. Setelah hampir 15 jam tiada berkawan, rasanya menyenangkan punya seseorang untuk diajak mengobrol. Apalagi mereka ini baik sekali, mau menungguiku membeli nasi bungkus yang akan kusantap di bis karena aku ingat, terakhir kali makan nasi adalah kemarin siang!

Bis AKAS AC tujuan Jember berangkat pukul 9.30 waktu setempat. Adit dan orangtuanya duduk persis di belakang sopir, sementara aku persis di seberang mereka, duduk satu seat dengan seorang perempuan cantik yang ternyata asli Bromo. Kebetulan yang menyenangkan! Dia malah berbaik hati mau mengantarku menuju tempat pengeteman bison (elf warna biru, angkutan umum menuju Cemoro Lawang, desa terdekat dengan Bromo). Rasanya luar biasa, di  antah berantah bisa bertemu orang-orang baik yang mempermudah urusan kita. 

Bis menurunkan aku dan si perempuan cantik di gerbang terminal Bayuangga-Probolinggo. Benar saja, ia mengantarku menuju tempat bison mangkal, lalu ia pamit karena sudah dijemput pacarnya. Dan...akupun sendiri lagi. Okay gak apa-apa...Aku berjalan cepat menuju warung yang biasa dijadikan tempat transit para turis sebelum naik ke Cemoro Lawang. Sudah ada 5 orang pemuda duduk-duduk santai mengelilingi meja. Kami saling menyapa. Aku melihat jam dinding, pukul 12.10 waktu setempat.

Aku berusaha sampai secepat mungkin, karena ingin punya waktu banyak menikmati keindahan Cemoro Lawang ketika hari masih terang. Kesorean sedikit saja sudah tersaput kabut. Waktu bergulir tapi kok bisonnya tak kunjung berangkat. Rupanya sopir menunggu penumpang banyak dulu baru mau berangkat. Memang bison ini angkutan yang ajaib dan labil hahaha. Kalau kebetulan ketika kita tiba sudah banyak orang, minimal 10 orang-lah, bison bisa langsung berangkat. Tapi kalau cuma sedikit seperti ketika aku tiba, dia gak mau cepat-cepat berangkat. Kecuali...kita bersedia bayar sedikit lebih mahal dari tarif biasanya Rp. 25.000,-. Aku sih gak keberatan yah bayar agak mahal karena gak ingin kehilangan momen-momen indah di Cemoro Lawang. Tapi pemuda-pemuda asal Pasuruan itu gak bersedia. Maunya cepet berangkat dengan tarif biasa. Ya jelas si sopir gak mau. Akhirnya mereka memutuskan untuk balik lagi ke Pasuruan dan kembali lagi besok. Maka tinggallah aku sendiri. Jeng...jeng...ini gimana ini...masa sudah jauh-jauh dari Tasik ke Probolinggo gak jadi ke Bromo? Duh dalam hati sudah kebat-kebit...rasanya pengen nangis. Bayangkan sudah sedekat itu ke tempat tujuan tapi gak bisa berangkat. Si sopir menawarkan aku mencarter sendiri dengan tarif edan-edanan supaya bisa segera berangkat. Enak aja...!

Ibu pemilik warung itu malaikat kalau menurutku. Dia mempersilahkan aku istirahat, boleh tiduran, boleh ngecas hape, dan membesarkan hatiku. Katanya tunggu saja, siapa tau nanti agak sore ada turis lain yang datang. Kata si ibu, tadi pagi 2 bison berangkat mengangkut banyak turis ke Bromo. Duh apa mungkin aku satu orang yang tertinggal? Huhuhuhu...Tapi aku putuskan untuk menunggu. Menunggu adalah bagian dari perjalanan. Sepakat kan? Benar saja, jam 3 sore lebih sedikit datanglah seorang cowok Jepang memanggul ransel. Rasanya pengen loncat-loncat sambil memeluk dia hahaha. Kami berkenalan, namanya Takea. Harapanku tumbuh lagi, dan gak berapa lama...2 bule mendatangi warung ini dengan ransel segede-gede bagong di punggungnya. Belakangan kutau kalau bule-bule itu backpacker asal Jerman yang sudah menghabiskan waktu 2 minggu keliling Indonesia. Mereka berangkat ke Bromo dari Jogja. Mereka berdua memperkenalkan diri, Paul dan temannya menyebutkan namanya yang di telingaku terdengar seperti Hooligan. Tapi kan gak mungkin ya, secara doi orang Jerman hahahaha! 

Maka setelah sepakat share harga, kami berempat berangkat menuju medan laga. Yihaaaa! Bromo aku datang!


warung tempat turis-turis menuju Bromo transit, persis di depannya bison mengetem


ini dia bison!


Paul dan 'H' yang menjadi kawan seperjalanan dan menjagaku dari serbuan calo

Perjalanan menuju Cemoro Lawang memakan waktu 1,5 jam. Semakin menanjak dan semakin berkelok, udara pun semakin dingin. Tapi semua terbayar dengan pemandangan yang luar biasa indah, hijau, damai. Rumah-rumah suku Tengger yang berderet rapi, kebun sayur-mayur, dan tentu saja pohon cemara. Di dalam bison riuh sekali. Kami bergantian saling memotret dan tertawa-tawa. Takea mendapat tempat kehormatan duduk paling depan dekat sopir. Sementara aku duduk sebangku dengan Paul sehingga kami bisa mengobrol banyak. Ia senang bukan kepalang ketika mengetahui aku pernah ke Bali beberapa kali. Setelah Bromo, mereka akan melanjutkan perjalanan ke Bali dengan bis.

Sesampainya di Cemoro Lawang, sopir bertanya penginapan seperti apa yang kami inginkan. Aku, Paul, dan 'H', sepakat berbagi kamar supaya mendapatkan harga yang miring. Ditambah kami sangat menginginkan kamar dengan shower air panas. Percaya deh, udara di Bromo bukan main dinginnya. Tapi kamar dengan air panas dan kamar mandi dalam harganya lumayan mahal. Ketika itu kami mendapat yang paling murah dengan 2 tempat tidur besar dan 1 tempat tidur kecil seharga Rp.180.000,-. Tapi karena dibagi tiga jadi benar-benar terasa ringan! Masing-masing cukup membayar Rp. 60.000,- saja. Takea, karena pusing dan tidak mau bergabung dengan kami, ia memutuskan menginap di Cafe Lava dengan rate kamar Rp. 300.000,-. Gilaaak mahal banget! Tapi mungkin doi memang tajir hihihi jadi gak keberatan. Akhirnya Takea berpisah dengan kami bertiga.

Setelah membayar penginapan di muka pada makelar hotel atas rekomendasi sopir bison, akhirnya kami bisa menaruh barang-barang dan segera pergi jalan-jalan. Harus cepat, karena hari semakin sore dan kabut semakin tebal. Enaknya punya teman laki-laki, meski jalan ketika hari gelap tidak khawatir. Aku bersyukur dipertemukan dengan mereka berdua, sehingga merasa aman di kampung orang. Kami nongkrong di depan Hotel Cemara Indah. Ah...lautan pasir terlihat dekat sekali. Begitupun dengan Bromo. Rsanya tinggal loncat aja sudah sampai!


Cemoro Lawang di senja hari


Paul (berkacamata) dan 'H', nongkrong sore hari


Lutan Pasir dan Gunung Batok dari depan Hotel Cemara Indah

Setelah makan malam, kami bertiga kembali ke penginapan. Senang sekali setelah melakukan perjalanan begitu panjang akhirnya bisa mandi air panas. Sebelum tidur, Paul membentangkan peta Bali yang sangat besar di lantai. Kami bertiga mengelilinginya. Dia bertanya banyak hal tentang Bali, dan aku dengan senang hati menjawabnya. Ups, sebelum tidur dia mengingatkanku untuk pesan jip pada makelar hotel. Tepuk jidat hampir lupa! Aku menghubungi makelar hotel dan minta dicarikan sharing-an jip menuju Gunung Penanjakan untuk melihat matahari terbit. Biayanya Rp. 70.000,-. Paul dan 'H' malah tidak tertarik ke Penanjakan, mereka memutuskan bangun agak siang baru menjelajah Bromo ketika hari sudah terang. Sementara aku harus bangun jam 3 pagi untuk berangkat ke Penanjakan.

Hari Ke-3 (Sabtu, 28 Januari 2012)

Jam 3 lebih pintu kamar diketuk sopir jip, menyuruhku siap-siap sementara dia menjemput orang-orang di penginapan yang lain. Paul dan 'H' masih terlelap di tempat tidur seberang. Aku memutuskan memakai semua jaketku (aku bawa 4 jaket), sarung tangan, dan kaos kaki ketika pergi tidur. Sehingga ketika bangun, tak perlu repot lagi. Aku menuliskan pesan di selembar kertas untuk mereka berdua. Bilang bahwa aku ke Penanjakan dan Bromo, kembali ke penginapan sekitar jam 8.30. Tak lupa meminta mereka menitipkan kunci di resepsionis. Jip datang, ketika aku masuk sudah ada 2 orang di dalamnya. Aku mendapat kawan seperjalanan baru lagi. Namanya Fatimah dan Agis. Agis ini kuliah di Jogja, dan secara kebetulan, kami bertiga akan pulang ke Jogja selepas menjelajah Bromo. Mereka baik dan menyenangkan sekali, kami langsung akrab dan tertawa-tawa. Begitulah, dalam perjalanan kita bisa langsung merasakan perasaan senasib dan sepenanggungan sehingga bisa saling menitipkan diri dan menjaga. 

Fatimah dan Agis ini juga tak berhenti menyemangati ketika aku hampir menyerah mendaki Penanjakan. Gila yak! Kupikir gak setinggi itu tempatnya. Banyak orang yang akhirnya menyerah atau memutuskan naik kuda sampai atas. Setelah istirahat berkali-kali, akhirnya sampai juga di puncak. Wah suasananya sudah seperti di pasar. Ramai benar!



bersama Fatimah.


diantara Agis dan Fatimah, after sunrise @Penanjakan



setelah turun dari Penanjakan, jip akan membawa kami ke lautan pasir dan Bromo

Lain dengan ketika mendaki, pas turun hepi-hepi gak capek sama sekali. Malah sempet-sempetnya beli jagung bakar, dimakan sambil jalan dan cekikikan. Habis Penanjakan, lanjut ke Bromo. Siap-siap lagi kekuatan kaki diuji. Menyebrangi lautan pasir dan mendaki menuju kawah Bromo. Nyebrang lautan pasir masih oke...mulai naik juga masih oke...subhanallah terkagum-kagum dengan gunungan pasir yang seperti diukir yang membentuk Bromo. Tengah-tengah menuju tangga ke kawah udah mulai ngos-ngosan. Berhenti lagi, atur nafas, minum, dan sesekali ngeceng yang bening-bening supaya semangat hehehe. Sirik lihat mereka yang naik kuda, sampai bawah tangga masih seger buger, tapi ya kan judulnya berpetualang jadi harus menikmati bagian bersusah-susah...Tangga menuju kawah kondisinya sudah jelek, agak rusak dan pijakannya tertutup pasir sehingga licin dan rawan bikin orang tergelincir. Untung karena lelah, semua orang naik dan turun pelan-pelan sehingga gak saling tabrak, Setelah lutut kayak mau copot rasanya, akhirnya kita sampai. Aku dan Fatimah merangkak mendekati pagar pembatas kawah, lalu kaki kita selonjor masuk ke celah-celahnya sementara kita memeluk pagar erat-erat. Rasanya gak sanggup lagi berdiri dan ngeri melihat ke bawah. Kami menoleh ke belakang, gak percaya perjalanan sebegitu jauhnya kami tempuh dengan sukses meski harus pelan-pelan.


parkir kuda sewaan di bawah tangga kawah Bromo dengan latar belakang Gunung Batok


kawah bromo. katanya ketika ada upacara kesodo, di bawah banyak orang-orang Tengger bawah yang menangkapi sesaji berupa hasil bumi dan hewan ternak


kami merangkak di bibir kawah, gak sanggup berdiri karena ngeri dan lutut yang gemetaran


lihat seberapa jauh kami berjalan!


pura hindu di kaki gunung


Kami tidak berlama-lama di kawah, karena ingin sesegera mungkin berangkat ke Jogja. Jam 10 pagi kami sudah turun dari Cemoro Lawang menggunakan bison dengan tarif normal Rp. 25.000,-. Di Probolinggo kami diantar ke agen travel menuju Jogja dengan tujuan akhir Sosrowijayan. Bersama kami bertiga, ikut pula sepasang turis asal Cina yang membuat perjalanan Probolinggo-Joga serasa sedang menonton film Mandarin karena obrolan seru mereka dengan bahasa cang-cing-cong. Hahahaha....hebat juga! Bepergian sendiri tidaklah sepi, malah dapat kawan-kawan baru di perjalanan. So i do believe now that travel alone is not lonely....












16 komentar:

  1. aaahh.. gilak ni teteh yang satu ini.. keren lah. selamat yaa sudah memenuhi 1 cita-cita. ditunggu cerita nginjig lainnya dari teh nunu :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasiiih...ngincig lain kali harus jadi sesi nyantai dan leyeh-leyeh plus bangun siang. tapi pasti hati kecil maunya yang berpetualang lagi....susah lagi...hahahaha...

      Hapus
  2. serunya, nunuuuu!! suka bacanyaa!! iya bener.. pergi jauh ke tanah orang itu baru terasa kalo energi yang kita bawa positif, hasilnya pasti positif jugaakk!! aahh!! peluk nunuuu!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih...peluk jugaaaa biar gak kedinginan disanah! he-eh dan aku beruntung sekali bertemu orang-orang baik terus. niat baik insya alloh dapetnya yg baik2...bepergian bikin kita ngerti rasanya 'pulang' yah...

      Hapus
  3. wahahaha... Nunu kereeeen. salut banget dah. Asik Nu. lanjutkan perjuangamu ya Nak. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. ini pan gara2 nya susah cari travelmate....ada yg punya duit tapi gak mau bersusah ria kayak aku, ada yg seneng backapackeran tapi pas lagi sibuk, susah libur. demikianlah, akhirnya ngincig sendiri nasippppp!

      Hapus
  4. ga ada kata lain kecuali,,keeeeeeeeeereeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeennnnnnnnnnnnnnnnnnnn,,,^_^
    ngimpi pengen kesana,,
    inget kata teh nunu,,harus "macul+nabung lagi" biar bisa kesana,,hehehehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. oh becullll...meski hasrat impulsive ku jangan ditiru yah...kalo tempat yg kita kunjungi budgetnya setara dengan tempat awal yg rencananya akan kita kunjungi sih gpp...misal belotnya jadi ke tempat yg cost nya lebih mahal? nah itu gak disarankan yah hehehehe...

      soal rincian biaya...baiklah akan segera aku susun. bego gak bikin saking keburu2 nya ngeblog hahahahaha...makasih udah berkunjung yah

      Hapus
    2. heheh,,iya teh,,paling saya mah deket* dulu lakh,teh garut,,pesisir pakidulan,,pengen dari tasik ke cikalong,,lalu jalan kaki nyusur pantai ampe pangan daran,,hehehe,,

      Hapus
    3. kalo ngebolang ke pakidulan kabarin aku yah...pengen banget papalidan dari pameungpeuk ke pangandaran. naik kendaraan umum tapi ;p

      Hapus
  5. teh,,rincian biayanya,,kudu ngitung sendiri ini mah,,heheheheheheh

    BalasHapus
  6. Terima kasih info Travel Bromo sangat membantu sekali. Kunjungin balik ya http://www.gunung-bromo.com

    BalasHapus
  7. Backpacker mengunjungi Wisata Bromo lebih seru kayaknya kalo baca artikel di atas

    BalasHapus
  8. Share coast yuk ke bromo...tapi gw mau camping

    BalasHapus
  9. Keren, pengen segera ke sana...!!! Alam Indonesia memang emejinggg...

    BalasHapus